Sabtu, 11 Januari 2014

Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika

A.  Pendahuluan
Berpikir merupakan suatu aktivitas mental untuk membantu memecahkan masalah, membuat keputusan, atau memenuhi rasa keingintahuan. Kemampuan berpikir terdiri dari dua yaitu kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir dasar (lower order thinking) hanya menggunakan kemampuan terbatas pada hal-hal rutin dan bersifat mekanis, misalnya menghafal dan mengulang-ulang informasi yang diberikan sebelumnya. Sementara kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) membuat peserta didik untuk mengintrepretasikan, menganalisa atau bahkan mampu memanipulasi informasi sebelumnya sehingga tidak monoton. Kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking) digunakan apabila seseorang menerima informasi baru dan menyimpannya untuk kemudian digunakan atau disusun kembali untuk keperluan pemecahan masalah berdasarkan situasi.
Permen 22 Tahun 2006 (tentang Standar Isi) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Oleh karena itu sangat diperlukan peningkatan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang merupakan salah satu prioritas dalam pembelajaran matematika sekolah.
Secara umum, keterampilan berpikir terdiri atas empat tingkat, yaitu: menghafal (recall thinking), dasar (basic thinking), kritis (critical thinking) dan kreatif (creative thinking) (Krulik & Rudnick, 1999). Tingkat berpikir paling rendah adalah keterampilan menghafal (recall thinking) yang terdiri atas keterampilan yang hampir otomatis atau refleksif. Tingkat berpikir selanjutnya adalah keterampilan dasar (basic thinking). Keterampilan ini meliputi memahami konsep-konsep seperti penjumlahan, pengurangan dan sebagainya termasuk aplikasinya dalam soal-soal.
Berpikir kritis adalah berpikir yang memeriksa, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi atau masalah. Termasuk di dalamnya mengumpulkan, mengorganisir, mengingat, dan menganalisa informasi. Berpikir kritis termasuk kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan. Ini juga berarti mampu menarik kesimpulan dari data yang diberikan dan mampu menentukan ketidakkonsistenan dan pertentangan dalam sekelompok data. Berpikir kritis adalah analitis dan refleksif.
Berpikir kreatif sifatnya orisinil dan reflektif. Hasil dari keterampilan berpikir ini adalah sesuatu yang kompleks. Kegiatan yang dilakukan di antaranya menyatukan ide, menciptakan ide baru, dan menentukan efektifitasnya. Berpikir kreatif meliputi juga kemampuan menarik kesimpulan yang biasanya menemukan hasil akhir yang baru. Dua tingkat berpikir terakhir inilah (berpikir kritis  dan berpikir kreatif) yang disebut sebagai keterampilan berpikir tingkat tinggi yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini akan dibahas mengenai kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika.
B.  Pengertian Berpikir Kritis
Istilah berpikir kritis (critical thinking) sering disamakan artinya dengan berpikir konvergen, berpikir logis (logical thinking) dan reasoning. R.H Ennis dalam Hassoubah (2004) mengungkapkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Oleh karena itu, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis peserta didik yaitu sebagai berikut.
1.  Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.
2.  Mencari alasan.
3.  Berusaha mengetahui informasi dengan baik.
4.  Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
5.  Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.
6.  Berusaha tetap relevan dengan ide utama.
7.  Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar.
8.  Mencari alternatif.
9.  Bersikap dan berpikir terbuka.
10. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.
11. Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.
12. Bersikap secara sistimatis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan masalah.
Indikator kemampuan berpikir kritis yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 1 adalah mampu merumuskan pokok-pokok permasalahan. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 3, 4, dan 7 adalah mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 2, 6, dan 12 adalah mampu memilih argumen logis, relevan dan akurat. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 8 dan 10, dan 11 adalah mampu mendeteksi bias berdasarkan pada sudut pandang yang berbeda. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 5 dan 9 adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan.
Menurut R. Swartz dan D.N. Perkins dalam Hassoubah (2004:86) menyatakan bahwa berpikir kritis berarti:
1.  Bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima atau apa yang akan dilakukan dengan alasan yang logis.
2.  Memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan.
3.  Menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan serta menerapkan standar tersebut.
4.  Mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang mendukung suatu penilaian.
Dalam rangka mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis pada diri seseorang, R.H Ennis dalam Hassoubah (2004:87) memberikan sebuah definisi berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Tujuan dari berpikir kritis adalah agar dapat menjauhkan seseorang dari keputusan yang keliru dan tergesa-gesa sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya Beyer dalam Hassoubah (2004) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis ini meliputi keterampilan untuk menentukan kredibilitas suatu sumber, membedakan antara yang relevan dan yang tidak relevan, membedakan fakta dari penilaian, mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan, mengidentifikasi bias yang ada, mengidentifikasi sudut pandang, mengevaluasi bukti yang ditawarkan. Selanjutnya Tyler dalam Redhana (2003:13-14) berpendapat bahwa pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan berpikir kritis peserta didik. Pertukaran gagasan yang aktif didalam kelompok kecil tidak hanya menarik perhatian peserta didik tetapi juga dapat mempromosikan pemikiran kritis. Kerjasama dapat memberi kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat dalam diskusi, bertanggung jawab terhadap pelajaran sehingga dengan begitu mereka menjadi pemikir yang kritis (Totten dalam Gokhale, 2002).
Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang dengan daya ingat baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang pemikir kritis. Seorang pemikir kritis mampu menyimpulkan dari apa yang diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk memecahkan masalah, dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan untuk dirinya. Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau mengecam orang lain. Berpikir kritis bersifat netral, objektif, tidak bias. Meskipun berpikir kritis dapat digunakan untuk menunjukkan kekeliruan atau alasan-alasan yang buruk, berpikir kritis dapat memainkan peran penting dalam kerja sama menemukan alasan yang benar maupun melakukan tugas konstruktif. Pemikir kritis mampu melakukan introspeksi tentang kemungkinan bias dalam alasan yang dikemukakannya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan menelaah atau menganalisis suatu sumber, mengidentifikasi sumber yang relevan dan yang tidak relevan, mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi, menerapkan berbagai strategi untuk membuat keputusan yang sesuai dengan standar penilaian.
C.  Unsur-unsur Dasar Berpikir Kritis
Menurut Ennis (1996:364) terdapat enam unsur dasar dalam berpikir kritis yang disingkat menjadi FRISCO:
-      F (Focus). Untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini maka harus bisa memperjelas pertanyaan atau isu yang tersedia, yang coba diputuskan itu mengenai apa.
-      R (Reason). Mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan putusan-putusan yang dibuat berdasar situasi dan fakta yang relevan.
-      I (Inference). Membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan, pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti.
-      S (Situation). Memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu memperjelas pertanyaan (dalam F) dan mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung.
-      C (Clarity). Menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
-      O (Overview). Melangkah kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil.
Untuk menilai kemampuan berpikir kritis Watson dan Glaser (1980) melakukan pengukuran melalui tes yang mencakup lima buah indikator, yaitu mengenal asumsi, melakukan inferensi, deduksi, interpretasi, dan mengevaluasi argumen. Joko Sulianto (2011) mengatakan bahwa kemampuan berpikir kritis sebagai bagian dari keterampilan berpikir perlu dimiliki oleh setiap anggota masyarakat, sebab banyak sekali persoalan-persoalan dalam kehidupan yang harus dikerjakan dan diselesaikan.
D. Pentingnya Berpikir Kritis
Berpikir kritis merupakan hal penting yang harus lakukan diantaranya karena:
1. Berpikir kritis memungkinkan peserta didik memanfaatkan potensi seseorang dalam melihat masalah, memecahkan masalah, menciptakan, dan menyadari diri.
2. Berpikir kritis merupakan keterampilan universal. Kemampuan berpikir jernih dan rasional diperlukan pada pekerjaan apapun, ketika mempelajari bidang ilmu apapun, untuk memecahkan masalah apapun, jadi merupakan aset berharga bagi karir seorang.
3. Berpikir kritis sangat penting di era informasi dan teknologi. Seorang harus merespons perubahan dengan cepat dan efektif, sehingga memerlukan keterampilan intelektual yang fleksibel, kemampuan menganalisis informasi, dan mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah.
4. Berpikir kritis meningkatkan keterampilan verbal dan analitik. Berpikir jernih dan sistematis dapat meningkatkan cara mengekspresikan gagasan, berguna dalam mempelajari cara menganalisis struktur  teks dengan logis, meningkatkan kemampuan untuk memahami.
5. Berpikir kritis meningkatkan kreativitas. Untuk menghasilkan solusi kreatif terhadap suatu masalah tidak hanya perlu gagasan baru, tetapi gagasan baru itu harus berguna dan relevan dengan tugas yang harus diselesaikan. Berpikir kritis berguna untuk mengevaluasi ide baru, memilih yang terbaik, dan memodifikasi bisa perlu.
6. Berpikir kritis penting untuk refleksi diri. Untuk memberi struktur kehidupan sehingga hidup menjadi lebih berarti (meaningful life), maka diperlukan kemampuan untuk mencari kebenaran dan merefleksikan nilai dan keputusan diri sendiri. Berpikir kritis merupakan meta-thinking skill, ketrampilan untuk melakukan refleksi dan evaluasi diri terhadap nilai dan keputusan yang diambil, kemudian dalam konteks membuat hidup lebih berarti yaitu melakukan upaya sadar untuk menginternalisasi hasil refleksi itu ke dalam kehidupan sehari-hari.
E. Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Di dalam kelas atau ketika berinteraksi dengan orang lain, cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan berpikir kritis adalah:
1.  Membaca dengan kritis
     Untuk berpikir secara kritis seseorang harus membaca dengan kritis pula. Dengan membaca secara kritis, diterapkan keterampilan berpikir kritis seperti mengamati, menghubungkan teks dengan konteksnya, mengevaluasi teks dari segi logika dan kredibilitasnya, merefleksikan kandungan teks dengan pendapat sendiri, membandingkan teks satu dengan teks lain yang sejenis.
2.  Meningkatkan daya analisis
     Dalam suatu diskusi dicari cara penyelesaian yang baik, untuk suatu permasalahan, kemudian mendiskusikan akibat terburuk yang mungkin terjadi.
3.  Mengembangkan kemampuan observasi atau mengamati
     Dengan mengamati akan didapat penyelesaian masalah yang misalnya menghendaki untuk menyebutkan kelebihan dan kekurangan, pro dan kontra akan suatu masalah, kejadian atau hal-hal yang diamati. Dengan demikian memudahkan seseorang untuk menggali kemampuan kritisnya.
4.  Meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
     Pengajuan pertanyaan yang bermutu, yaitu pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban benar atau salah atau tidak hanya satu jawaban benar, akan menuntut peserta didik untuk mencari jawaban sehingga mereka banyak berpikir.
Dari hasil penelitian, L. M. Sartorelli dan R. Swartz dalam Hassoubah (2004:96-110), beberapa cara meningkatkan keterampilan berpikir kritis diantaranya adalah dengan meningkatkan daya analisis dan mengembangkan kemampuan observasi/mengamati.
Menurut Christensen dan Marthin dalam Redhana (2003:21) bahwa strategi pemecahan masalah dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kemampuan peserta didik dalam mengadaptasi situasi pembelajaran yang baru. Tyler dalam Redhana (2003:21) berpendapat bahwa pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan dalam pemecahan masalah akan meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik.
F.  Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika
Menurut Bonnie dan Potts (2003) secara singkat dapat disimpulkan bahwa beberapa “ciri khas” pembelajaran berpikir kritis meliputi: (1) Meningkatkan interaksi antar peserta didik, (2) Dengan mengajukan pertanyaan open-ended, (3) Memberikan waktu yang memadai kepada peserta didik untuk memberikan refleksi terhadap pertanyaan yang diajukan atau masalah-masalah yang diberikan, dan (4) Teaching for transfer (Mengajar untuk dapat menggunakan kemampuan yang baru saja diperoleh terhadap situasi-situasi lain dan terhadap pengalaman sendiri yang para peserta didik miliki). Kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis peserta didik adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan inovatif: Adakah cara lain? (What’s another way?), Bagaimana jika…? (What if …?), Manakah yang salah? (What’s wrong?), dan Apakah yang akan dilakukan? (What would you do?) (Krulik & Rudnick, 1999).
a.  Adakah cara lain?
     Dalam pertanyaan dibuat kondisi soal tetap, tidak berubah kemudian fokuskan pada masalah, serta peserta didik diminta untuk mengerjakan soal tersebut dengan cara lain. Hal ini dapat melatih keterampilan berpikir kritis pada peserta didik.
     Misalnya: Seorang anak memiliki sejumlah uang logam yang terdiri dari mata uang dua ratusan dan lima ratusan. Jumlah uang seluruhnya adalah Rp7.600,00. Jika anak itu mempunyai 20 keping uang logam. Berapa keping masing-masing uang logam? Adakah cara lain untuk mengerjakan soal dengan jawaban yang sama?
b.  Bagaimana jika...?
     Dalam pertanyaan ini apabila kondisi soal berubah maka berpengaruh pada jawaban soal, kemudian peserta didik menganalisis soal yang berubah tersebut. Hal ini melatih keterampilan berpikir kritis pada peserta didik.
     Misalnya: Dalam sebuah kantong terdapat 12 bola merah, 8 bola ungu, dan 6 bola biru. Pada pengambilan pertama secara acak diperoleh bola ungu dan tidak dikembalikan. Tentukan peluang terambilnya bola merah pada pengambilan kedua?
     Jawaban: P(M) =  
     Kemudian ajukan pertanyaan bagaimana jika bola ungu pada pengambilan pertama dikembalikan? Berapa peluang terambilnya bola merah pada pengambilan kedua
c.  Manakah yang salah?
     Dalam pertanyaan ini disajikan soal dan jawabannya, tetapi jawaban tersebut memuat kesalahan misalnya pada konsep atau perhitungan kemudian peserta didik diminta mencari kesalahan, memperbaiki, menjelaskan, dan memperbaiki. Hal ini dapat melatih keterampilan berpikir kritis pada peserta didik.
d.  Apakah yang akan dilakukan?
     Setelah menyelesaikan, peserta didik diminta membuat keputusan misalnya lewat gagasan atau pengalaman pribadi peserta didik, kemudian peserta didik juga harus menjelaskan dasar keputusannya. Hal ini dapat melatih keterampilan berpikir kritis.
     Misalnya: Andi ditawari oleh temannya untuk memilih salah satu dari dua minuman ringan. Minuman yang pertama dengan merk “X” berbentuk tabung dengan jari-jari 7 cm dan tinggi 16 cm. Minuman yang kedua dengan merk “Y” berbentuk balok dengan berukuran . Minuman merk apa yang harus Andi pilih ? Mengapa?
DAFTAR PUSTAKA
Bonnie dan Potts. 2003. Strategies for Teaching Critical Thinking. Practical Assesment, Research & Evaluation. [online]. Tersedia: http ://edresearch.org/pare/getvn.asp?v=4&n=3 [2 Juli 2003].
Ennis, R. H. 1996. Critical Thinking. USA: Prentice Hall, Inc.
Gokhale. Anuradha A. 2002. Collaborative Learning Enhances Critical Thinking. http://scholar.lib.vt.Edu/enjournals/JTE .
Hassoubah, Izhab Zaleha. 2004. Developing Creatif and Critical Thinking Skill (Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Nuansa: Bandung.
Joko, Sulianto. 2011. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis pada Siswa Sekolah Dasar. Artikel diambil dari http://www.dikti.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=1867%3Apendekatan-kontekstual-dalam-pembelajaran-matematika-untuk-meningkatkan-berpikir-kritis-pada-siswa-sekolah-dasar&catid=159%3Aartikel-kontributor&Itemid=160 [diakses 15 April 2011].
Krulik, S & Rudnick. 1999.” Innovative Taks to Improve Critical and Creative Thinking Skills. Develoving Mathematical Raesoning in Grades K-12”, pp.138-145.
Permen 22 thn 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.
Redhana, I Wayan. 2003. Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif Dengan Strategi Pemecahan Masalah. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran XXXVI. II: 11-21. 
Watson, G dan Glaser, E. M. 1980. Critical Thinking Appraisal. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Jumat, 10 Januari 2014

Tujuan Penelitian Tindakan Kelas

Dalam pelaksanaannya, PTK diawali dengan kesadaran akan adanya permasalahan yang dirasakan mengganggu, yang dianggap menghalangi pencapaian tujuan pendidikan sehingga ditengarai telah berdampak kurang baik terhadap proses dan atau hasil belajar pserta didik, dan atau implementasi sesuatu program sekolah. Bertolak dari kesadaran mengenai adanya permasalahan tersebut, yang besar kemungkian masih tergambarkan secara kabur, guru kemudian menetapkan fokus permasalahan secara lebih tajam kalau perlu dengan mengumpulkan tambahan data lapangan secara lebih sistematis dan atau melakukan kajian pustaka yang relevan.
Tujuan PTK sebagai berikut.
1.  Memperbaiki dan meningkatkan mutu praktik pembelajaran yang dilaksanakan guru demi tercapainya tujuan pembelajaran.
2.  Memperbaiki dan meningkatkan kinerja-kinerja pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
3.  Mengidentifikasi, menemukan solusi, dan mengatasi masalah pembelajaran di kelas agar pembelajaran bermutu.
4.  Meningkatkan dan memperkuat kemampuan guru dalam memecahkan masalah-masalah pembelajaran dan membuat keputusan yang tepat bagi siswa dan kelas yang diajarnya.
5.  Mengeksplorasi dan membuahkan kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pembelajaran (misalnya, pendekatan, metode, strategi, dan media) yang dapat dilakukan oleh guru demi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran.
6.  Mencobakan gagasan, pikiran, kiat, cara, dan strategi baru dalam pembelajaran untuk meningkatkan mutu pembelajaran selain kemampuan inovatif guru.
7.  Mengeksplorasi pembelajaran yang selalu berwawasan atau berbasis penelitian agar pembelajaran dapat bertumpu pada realitas empiris kelas, bukan semata-mata bertumpu pada kesan umum atau asumsi.
8.  Memecahkan masalah-masalah melalui penerapan langsung di kelas atau tempat kerja (Isaac, 1994:27).
9.  Menemukan pemecahan masalah yang dihadapi sesorang dalam tugasnya sehari-hari dimana pun tempatnya, di kelas, di kantor, di rumah sakit, dan seterusnya.
Referensi:
Isaac, Stephen and William B. Michael. Handbook in Reasearch and Evaluation: For Education and the Behavioral Sciences. Third edition. San Diego, CA: EdiTS, 1994.
http://www.m-edukasi.web.id/2012/05/tujuan-ptk-penelitian-tindakan-kelas.html diakses 10 Januari 2014.

Kamis, 09 Januari 2014

Hakikat Matematika

A.  Pengertian Matematika
Kata matematika berasal dari perkataan latin mathematica, yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike yang berarti ”relating to learning”. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathenein yang artinya belajar (berpikir) (Erman Suherman, 2003:15).
Berdasarkan etimologis (Elea Tinggih dalam Erman Suherman) perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran (Russeffendi ET dalam Erman Suherman). Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampai terbentuk konsep-konsep matematika. Agar konsep-konsep matematika yang terbentuk itu mudah dipahami oleh orang lain dan dapat dimanipulasi secara tepat, maka digunakan notasi matematika dan istilah yang cermat yang disepakati bersama secara global (universal) yang dikenal dengan bahasa matematika (Erman Suherman, 2003:16).
Beberapa definisi para ahli mengenai matematika antara lain (Erman Suherman, 2003:16-17):
1.  Russefendi (1988:23)
     Matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil dimana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif.
2.  James dan James (1976)
     Matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya. Matematika terbagi dalam tiga bagian besar yaitu aljabar, analisis dan geometri. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa matematika terbagi menjadi empat bagian yaitu aritmatika, aljabar, geometri dan analisis dengan aritmatika mencakup teori bilangan dan statistika.
3.  Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972)
     Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi.
4.  Reys, dkk. (1984)
     Matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat.
5.  Kline (1973)
     Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Abdul Halim Fathani, matematika didefinisikan sebagai sebagai tentang bilangan, hubungan antara bilangan antara prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Konsep matematika didapat karena proses berpikir, karena itu logika adalah dasar terbentuknya matematika. Pada awalnya cabang matematika yang ditemukan adalah Aritmatika atau Berhitung, Aljabar, Geometri. Setelah itu ditemukan Kalkulus sebagai tonggak terbentuknya cabang matematika baru yang lebih kompleks antara lain Statistika, Topologi, Aljabar Abstrak, Aljabar Linear, Himpunan, Geometri Linier, Analisis Vektor, dll.
Berdasarkan definisi di atas banyak definisi dari matematika. Semua definisi dapat kita terima, karena memang matematika dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang dan karena matematika itu sendiri memang bisa mencakup seluruh aspek manusia, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
B.  Matematika Sebagai Ilmu Deduktif
Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif, karena proses mencari kebenaran (generalisasi) dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lain. Metode pencarian kebenaran yang dipakai adalah metode deduktif, tidak dapat dengan cara induktif. Pada ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif dan eksperimen. Walaupun dalam matematika mencari kebenaran itu dapat dimulai dengan cara induktif, tetapi seterusnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus dapat dibuktikan dengan cara deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi dari sifat, teori atau dalil itu dapat diterima kebenarannya sesudah dibuktikan secara deduktif (Erman Suherman, 2003:18).
Contoh dalam ilmu fisika, bila seorang melakukan percobaan (eksperimen) sebatang logam dipanaskan maka memuai dan dilanjutkan dengan logam-logam yang lainnya, dipanaskan ternyata memuai juga, maka ia dapat membuat kesimpulan (generalisasi) bahwa setiap logam yang dipanaskan itu dapat memuai. Generalisasi yang dibuat secara induktif tersebut dalam ilmu fisika dapat dibenarkan. Namun dalam matematika contoh itu baru dianggap sebagai generalisasi jika kebenarannya dapat dibuktikan secara deduktif.
C. Matematika Sebagai Ilmu Terstruktur
Matematika merupakan ilmu terstruktur yang terorganisasikan. Hal ini karena matematika dimulai dari unsur yang tidak didefinisikan, kemudian unsur yang didefinisikan ke aksioma/postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistimatis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Oleh karena itu untuk mempelajari matematika, konsep sebelumnya yang menjadi prasyarat, harus benar-benar dikuasai agar dapat memahami topik atau konsep selanjutnya. Dalam pembelajaran matematika guru seharusnya menyiapkan kondisi siswanya agar mampu menguasai konsep-konsep yang akan dipelajari mulai dari yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
Contoh seorang siswa yang akan mempelajari sebuah volume kerucut haruslah mempelajari mulai dari lingkaran, luas lingkaran, bangun ruang dan akhirnya volume kerucut. Untuk dapat mempelajari topik volume balok, maka siswa harus mempelajari rusuk/garis, titik sudut, sudut, bidang datar persegi dan persegi panjang, luas persegi dan persegi panjang, dan akhirnya volume balok. Struktur matematika adalah sebagai berikut :
a.  Unsur-unsur yang tidak didefinisikan
     Misal: titik, garis, lengkungan, bidang, bilangan, dll. Unsur-unsur ini ada, tetapi kita tidak dapat mendefinisikannya.
b.  Unsur-unsur yang didefinisikan
     Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan maka terbentuk unsur-unsur yang didefinisikan. Misal: sudut, persegi panjang, segitiga, balok, bilangan ganjil, pecahan desimal, FPB dan KPK, dll.
c.  Aksioma dan postulat
     Dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan dan unsur-unsur yang didefinisikan dapat dibuat asumsi-asumsi yang dikenal dengan aksioma atau postulat. Misal:
·       Melalui 2 titik sembarang hanya dapat dibuat sebuah garis.
·       Semua sudut siku-siku satu dengan lainnya sama besar.
·       Melalui sebuah titik hanya dapat dibuat sebuah garis yang tegak lurus ke sebuah garis yang lain.
·       Sebuah segitiga tumpul hanya mempunyai sebuah sudut yang lebih besar dari.
d.  Dalil atau Teorema
     Dari unsur-unsur yangtidak didefinisikan dan aksioma maka disusun teorema-teorema atau dalil-dalil yang kebenarannya harus dibuktikan dengan cara deduktif. Misal:
·       Jumlah dua bilangan ganjil adalah genap
·       Jumlah ketiga sudut pada sebuah segitiga sama dengan
·       Jumlah kuadrat sisi siku-siku pada sebuah segitiga siku-siku sama dengan kuadrat sisi miringnya.
D.  Matematika Sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain. Dengan kata lain banyak ilmu yang penemuannya dan pengembangannya bergantung pada matematika (Erman Suherman, 2003:25). Contohnya:
1.  Penemuan dan pengembangan teori Mendel dalam biologi melalui konsep probabilitas.
2.  Dengan matematika, Einstein membuat rumus yang dapat digunakan untuk menaksir jumlah energi yang dapat diperoleh dari ledakan atom.
3.  Dalam ilmu pendidikan dan psikologi, khususnya dalam teori belajar, selain digunakan statistik juga digunakan persamaan matematis untuk menyajikan teori atau model dari penelitian.
4.  Dalam ilmu kependudukan, matematika digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk dll.
5.  Dalam seni grafis, konsep transformasi geometri digunakan untuk melukis mosaik.
6.  Banyak teori-teori dari fisika dan kimia (modern) yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep Kalkulus.
7.  Teori Ekonomi mengenai Permintaan dan Penawaran dikembangkan melalui konsep fungsi dan kalkulus diferensial maupun integral.
Dari kedudukan sebagai ratu ilmu pengetahuan tersirat bahwa matematika merupakan ilmu yang berfungsi melayani ilmu pengetahuan lain.
E.  Karekteristik Matematika
Hakikat matematika menurut Soedjadi dalam Purwanto (2004:264) menunjuk kepada segi-segi penting dan mendasar yang diantaranya menyangkut karakteristik matematika. Karakteristik tersebut mengacu pada ciri-ciri khusus yang dapat merangkum pengertian matematika secara umum, yaitu sebagai berikut:
     a. Memiliki objek kajian yang abstrak
     Matematika memiliki objek kajian yang bersifat abstrak. Ada empat objek kajian matematika, yaitu fakta, konsep, operasi dan relasi, prinsip. Selanjutnya dari objek dasar inilah dapat disusun suatu pola matematika.
          Fakta artinya pemufakatan atau konvensi yang biasanya diungkapkan melalui simbol-simbol atau rangkaian simbol tertentu. Misalnya simbol “^” yang berarti tegak lurus, simbol “// ” berarti sejajar, dan sebagainya. Cara memperkenalkan fakta kepada peserta didik adalah melalui tahapan-tahapan yang memungkinkan peserta didik dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. Penggunaan simbol seharusnya secara informal pada tahap awal pembelajaran, untuk membantu anak tetap pada pola dan hubungan yang dapat mereka pahami. Dalam hal ini perlu menerapkan pendekatan dari J. Bruner, yaitu enaktif-ikonik-simbolik.
          Konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau mengkategorikan sekumpulan objek, apakah objek tertentu merupakan contoh atau bukan contoh. Misalnya “segitiga” merupakan nama suatu konsep, maka dengan konsep tersebut peserta didik dapat membedakan mana yang merupakan contoh segitiga dan mana yang bukan contoh segitiga. Konsep dapat dipelajari dengan memberikan definisi atau observasi langsung. Peserta didik telah memahami suatu konsep apabila ia dapat memisahkan yang mana contoh dan yang mana bukan contoh konsep.
          Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar dan pengerjaan matematika lainnya. Sementara relasi adalah hubungan antara dua atau lebih elemen. Contoh operasi adalah penjumlahan, perpangkatan, gabungan, irisan dan lain-lain. Sedangkan contoh relasi adalah sama dengan, lebih kecil, lebih besar dan sebagainya. Operasi sering kali disebut dengan skill (keterampilan), bila yang ditekankan adalah keterampilannya. Keterampilan ini dapat dipelajari melalui demontrasi, drill dan lain-lain. Peserta didik dianggap telah menguasai suatu keterampilan atau operasi apabila ia dapat mendemontrasikan keterampilannya atau mengoperasikan dengan benar.
          Prinsip adalah objek dalam matematika yang terdiri atas beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi atau operasi. Dengan kata lain, prinsip adalah hubungan di antara berbagai objek dasar matematika. Yang termasuk dalam prinsip, misalnya aksioma, teorema, dalil, corollary, sifat dan sebagainya (Fathani, 2009:59-66).
     b.  Bertumpu pada kesepakatan
     Simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Dengan simbol dan istilah yang telah disepakati, pembahasan selanjutnya akan menjadi mudah dikomunikasikan dan dilakukan. Sedangkan kesepakatan dalam matematika merupakan tumpuan yang amat penting. Kesepakatan yang sangat mendasar adalah aksioma (postulat, yaitu pernyataan pangkal yang tidak perlu pembuktian), dan konsep primitif (pengertian pangkal yang tidak perlu didefinisikan). Aksioma diperlukan dalam matematika untuk menghindarkan berputar-putar dalam pembuktian, sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindarkan berputar-putar pada pendefinisian. Sebagai contoh; titik, garis, dan bidang merupakan unsur-unsur primitif atau pengertian pangkal dalam geometri Euclid. Sementara salah satu aksioma di dalamnya adalah “melalui dua buah titik ada tepat satu garis lurus yang dapat dibuat” (Fathani, 2009:66-68).
     c.  Berpola pikir deduktif
     Matematika dilukiskan sebagai suatu kumpulan sistem yang secara “ilmu” hanya dapat diterima melalui pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara sederhana dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum dan diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus. Dalam pola pikir deduktif, kebenaran suatu konsep dalam matematika diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran-kebenaran sebelumnya yang telah diterima. Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana, dan juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana (Fathani, 2009:68).
     d.  Konsisten dalam sistemnya
     Dalam matematika terdapat sistem yang terkait maupun yang terlepas satu sama lain, yang dibentuk dari beberapa aksioma dan beberapa teorema. Sistem aljabar dengan sistem geometri dapat dipandang terlepas satu dengan yang lainnya, tetapi dalam sistem aljabar dan sistem geometri sendiri terdapat beberapa sistem yang lebih kecil yang terkait satu sama lain, dan di dalamnya berlaku ketaat-azasan atau konsisten. Artinya, dalam setiap sistem tidak boleh terdapat unsur kontradiksi. Suatu teorema atau definisi harus menggunakan istilah atau konsep yang telah ditetapkan terlebih dahulu (Fathani, 2009:69).
     e.  Memiliki simbol yang kosong arti
     Di dalam matematika, banyak sekali simbol-simbol baik berupa huruf latin, huruf Yunani, maupun simbol-simbol khusus lainnya, yang membentuk kalimat dalam matematika dan biasa disebut dengan model matematika. Model matematika tersebut dapat berupa persamaan, pertidaksamaan, fungsi dan lain-lain. Selain iu, dapat pula berupa bangun-bangun geometri, grafik, diagram dan sebagainya. Sebagai contoh; simbol huruf x, y dan z dalam model matematika seperti pada persamaan x + y = z belum tentu bermakna sebagai bilangan, dan simbol “+” untuk dua bilangan masih kosong dalam arti (Fathani, 2009:70).
     f.   Memperhatikan semesta pembicaraan
     Apabila kita menggunakan simbol-simbol matematika yang bermakna kosong dalam arti, maka kita seharusnya memperhatikan pula lingkup pembicaraannya. Lingkup pembicaraan ini disebut dengan semesta pembicaraan (Universal Set) yang berfungsi untuk menentukan benar atau tidaknya, atau ada atau tidaknya penyelesaian suatu model matematika (Fathani, 2009:71).

DAFTAR PUSTAKA
Fathani, A.H.. 2009. Matematika Hakikat dan Logika. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Suherman, E.. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Rabu, 08 Januari 2014

Pengalaman Belajar Berdasarkan Teori Berpikir van Hiele

A.  Teori Berpikir van Hiele
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele tersebut adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Kelima Tahap berpikir van Hiele diatas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tahap 0 (Visualisasi)
Tahap 0 ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, dan tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.
Tahap 1 (Analisis)
Tahap 1 ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Pada tahap ini siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.
Tahap 2 (Deduksi Informal)
Tahap 2 ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Selain itu juga siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri.
Tahap 3 (Deduksi)
Tahap 3 ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Selain itu juga siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
Tahap 4 (Rigor)
Clements & Battista juga menyebut tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap 4 ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.
Adapun karakteristik Teori van Hiele, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne,1999). Hal senada juga diungkapkan oleh Burger dan Culpepper (1993) bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.
Clements & Battista menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley (1987) menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) intrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Artinya Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.Tahap-tahap berpikir van Hiele ini akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan  Dengan demikian, guru perlu menyediakan pengalaman belajar yang cocok dan sesuai dengan tahap berpikir siswa.
B.  Pengalaman Belajar sesuai Teori van Hiele
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat berpikir siswa dalam geometri menurut teori van Hiele lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Siswa SMA pada umumnya sudah sampai pada tahap berpikir deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat Geddes & Fortunato (1993) bahwa siswa SMA diharapkan sudah sampai pada tahap 2.
Berikut ini akan dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk tiga tahap pertama, yaitu tahap 0 sampai tahap 2 (Crowley, 1987).
1. Aktivitas Tahap 0 (Visualisasi)
Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1.    Memanipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun-bangun geometri.
2.    Mengidentifikasi bangun atau relasi geometri dalam suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, blok-blok pola atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan obyek-obyek fisik lain di dalam kelas, rumah, foto, atau tempat lain, dan dalam bangun-bangun yang lain.
3.    Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun, dan mengkonstruk bangun.
4.    Mendeksripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.”.
5.    Mengerjakan masalah yang  dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur, dan menghitung.
2. Aktivitas Tahap 1 (Analisis)
Pada tahap 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1.    Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan, dan menyusun dalam urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya.
2.    Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai sifat-sifatnya.
3.    Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.
4.    Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
5.    Mengidentifikasi bangun berdasarkan sudut pandang visualnya.
6.    Membuat suatu aturan dan generalisasi secara empirik (berdasarkan beberpa contoh yang dipelajari).
7.    Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
8.    Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
9.    Menjumpai dan menggunakan kosakata atau simbol-simbol yang sesuai.
10. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan.
3.  Aktivitas Tahap 2 (Deduksi Informal)
Pada tahap 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1.    Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, membuat inklusi, dan membuat implikasi
2.    Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambar suatu bangun.
3.    Membuat dan menggunakan definisi
4.    Mengikuti argumen-argumen informal
5.    Menyajikan argumen informal.
6.    Mengikuti argumen deduktif,  mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang.
7.    Memberikan lebih dari satu pendekatan atau penjelasan.
8.    Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversnya.
9.    Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterkaitannya.
Van de Walle (1990) membuat deksripsi aktivitas yang lebih sederhana dibandingkan deskripsi yang dibuat oleh Crowley (1987). Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah sebagai berikut.
1.  Aktivitas Tahap 0 (Visualisasi).
Aktivitas pada tahap 0 ini haruslah:
1.    melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk memanipulasi,
2.    melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang sangat bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan,
3.    melibatkan kegiatan memilih, mengidentifikasi dan mendeksripsikan berbagai bangun, dan
4.    menyediakan kesempatan untuk membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
2.  Aktivitas Tahap 1 (Analisis)
Aktivitas untuk tahap 1 ini haruslah:
1.    menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi berbagai sifat bangun,
2.    mulai lebih menfokuskan pada sifat-sifat daripada sekedar identifikasi,
3.    mengklasifikasi bangun berdasar sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut, dan
4.    menggunakan pemecahan masalah yang melibatkan sifat-sifat bangun.
3. Aktivitas Tahap 2 (Deduksi Informal)
Aktivitas untuk tahap 2 ini haruslah:
1.    melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus pada pendefinisian sifat. Membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep,
2.    memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif informal, misalnya: semua, suatu, dan jika-maka serta mengamati validitas konvers suatu relasi.
3.    Menggunakan model atau gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau contoh kontra.
Aktivitas yang digunakan untuk tiap tahap berpikir dapat mengacu pada aktivitas yang dijelaskan oleh Van de Walle. Meskipun demikian, aktivitas ini masih dapat dilengkapi dengan aktivitas yang sesuai dengan penjelasan Crowley (1987). Pemilihan aktivitas ini didasarkan pada kecocokan antara materi yang akan diajarkan dengan deskripsi aktivitas tersebut.
Aktivitas pembelajaran untuk pengenalan konsep-konsep geometri di sekolah dasar atau menengah dapat dimulai dari tahap 0, tahap 1 sampai tahap 2. Hal ini didasarkan pada pendapat Van de Walle (1990) bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah umum dapat berada pada tahap 0 atau tahap 2. Jika pembelajaran langsung dimulai pada tahap 2 dapat dimungkinkan terjadi mismatch. Mismatch adalah ketidaksesuaian antara pengalaman belajar dengan tahap berpikir siswa. Siswa yang berada pada suatu tahap berpikir, diberi pengalaman belajar sesuai tahap berpikir di atasnya. Mismatch dapat mengakibatkan belajar hafalan atau belajar temporer, sehingga berakibat konsep yang diperoleh siswa akan mudah dilupakan.