Sabtu, 04 Januari 2014

Peningkatan Mutu Pendidikan

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Seiring perkembangan zaman yang sangat cepat dan modern membuat dunia pendidikan semakin penuh dengan dinamika. Di Indonesia sendiri dinamika itu tampak dari tidak henti-hentinya sejumlah masalah yang melingkupi dunia pendidikan. Merosotnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum dan mutu pendidikan tinggi secara spesifik dilihat dari persfektif makro dapat disebabkan oleh buruknya sistem pendidikan nasional dan rendahnya sumber daya manusia (Hadis dan Nurhayati, 2010:2). Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha pengembangan sumber daya manusia (SDM), walaupun usaha pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan khususnya pendidikan formal (sekolah). Tetapi sampai detik ini, pendidikan masih dipandang sebagai sarana dan wahana utama untuk pengembangan SDM yang dilakukan dengan sistematis, programatis, dan berjenjang.
Kemajuan pendidikan dapat dilihat dari kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk menangkap proses informatisasi dan kemajuan teknologi. Karena proses informatisasi yang cepat karena kemajuan teknologi semakin membuat horizon kehidupan didunia semakin meluas dan sekaligus semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai masalah kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian dibelahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi, maupun sosial.
2. Rumusan Masalah
    A. Apakah yang dimaksud dengan mutu?
    B. Bagaimana upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia?
B. Pembahasan
1. Hakikat Mutu
Menurut Crosby dalam Hadis dan Nurhayati (2010:85) mutu ialah conformance to requirement, yaitu sesuai yang diisyaratkan atau distandarkan. Suatu produk memiliki mutu apabila sesuai dengan standar yang telah ditentukan, standar mutu tersebut meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Menurut Deming dalam Hadis dan Nurhayati (2010:85) mutu ialah kesesuain dengan kebutuhan pasar atau konsumen.
Mutu ialah suatu kondisi dinamik yang berhubungan dengan produk, tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Dengan perubahan mutu tersebut, diperlukan peningkatan atau perubahan keterampilan tenaga kerja, proses produksi dan tugas, serta perubahan lingkungan perusahaan agar produk dapat memenuhi dan melebihi harapan konsumen (Garvi dan Davis dalam Hadis dan Nurhayati, 2010:86).
Dalam pandangan Zamroni (2007:2) dikatakan bahwa peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
2. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia
Untuk meningkatkan mutu pendidikan kita perlu melihat dari banyak sisi. Telah banyak pakar pendidikan mengemukakan pendapatnya tentang faktor penyebab dan solusi mengatasi kemerosotan mutu pendidikan di lndonesia. Dengan masukan ilmiah ahli itu, pemerintah tak berdiam diri sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.
Dalam persfektif makro banyak faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan, diantaranya faktor kurikulum, kebijakan pendidikan, fasilitas pendidikan, aplikasi teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam kegiatan proses belajar mengajar, aplikasi metode, strategi dan pendekatan pendidikan yang mutakhir dan modern, metode evaluasi pendidikan yang tepat, biaya pendidikan yang memadai, manajement pendidikan yang dilaksanakan secara profesional, sumberdaya manusia para pelaku pendidikan yang terlatih, berpengetahuan, berpengalaman dan profesional (Hadis dan Nurhayati, 2010:3).
Masukan ilmiah yang disampaikan para ahli dari negara-negara yang berhasil menerapkannya, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru dan Singapura selalu memunculkan konsep yang tidak selalu bisa diadopsi dan diadaptasi. Karena berbagai macam latar yang berbeda. Situasi, kondisi, latar budaya dan pola pikir bangsa kita tentunya tidak homogen dengan negara-negara yang diteladani. Malahan, konsep yang diimpor itu terkesan dijadikan sebagai “proyek” yang bertendensi pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Artinya, proyek bukan sebagai alat melainkan sebagai tujuan.
Beberapa penerapan pola peningkatan mutu di Indonesia telah banyak dilakukan, namun masih belum dapat secara langsung memberikan efek perbaikan mutu. Diantaranya adalah usaha peningkatan mutu dengan perubahan kurikulum dan proyek peningkatan lain; Proyek Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), Proyek Perpustakaan, Proyek Bantuan Meningkatkan Manajemen Mutu (BOMM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Proyek Pengadaan Buku Paket, Proyek Peningkatan Mutu Guru, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM). Dengan memperhatikan sejumlah proyek itu, dapatlah kita simpulkan bahwa pemerintah telah banyak menghabiskan anggaran dana untuk membiayai proyek itu sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam persfektif mikro atau tinjauan secara sempit dan khusus, faktor dominan yang berpengaruh dan berkontribusi besar terhadap mutu pendidikan ialah guru yang profesional dan guru yang sejahtera (Hadis dan Nurhayati, 2010:3). Oleh karena itu, guru sebagai suatu profesi harus profesional dalam melaksanakan berbagai tugas pendidikan dan pengajaran, pembimbingan dan pelatihan yang diamanahkan kepadanya.
Dalam proses pendidikan guru memiliki peranan sangat penting dan strategis dalam membimbing pesserta didik kearah kedewasaan, kematangan dan kemandirian, sehingga guru sering dikatakan ujung tombak pendidikan. Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru tidak hanya menguasai bahan ajar dan memiliki kemampuan teknis edukatif tetapi memiliki juga kepribadian dan integritas pribadi yang dapat diandalkan sehingga menjadi sosok panutan bagi peserta didik, keluarga maupun masyarakat (Sagala, 2007:99).
Berikut ini adalah elemen dasar bagaimana kita dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (Bull, 2010):
     a. Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan
    “Manajemen Sumber Daya Manusia” mengatakan, penghargaan diberikan untuk menarik dan mempertahankan SDM karena diperlukan untuk mencapai saran-saran organisasi. Staf (guru) akan termotivasi jika diberikan penghargaan ekstrinsik (gaji, tunjangan, bonus dan komisi) maupun penghargaan instrinsik (pujian, tantangan, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan dan pengembangan karir). Manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang memiliki lima tingkatan (hierarchy of needs) yakni, mulai dari kebutuhan fisiologis (pangan, sandang dan papan), kebutuhan rasa aman (terhindar dari rasa takut akan gangguan keamanan), kebutuhan sosial (bermasyarakat), kebutuhan yang mencerminkan harga diri, dan kebutuhan mengaktualisasikan diri di tengah masyarakat.
       Pendidik dan pengajar sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan masyarakat.
     b. Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik
          Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan terhadap profesinalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi secara arif dan bijaksana.
          Konsep tentang guru profesional ini selalu dikaitkan dengan pengetahuan tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran, penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta teknologi informasi dan komunikasi.
         Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara financial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.
          Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru. Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga yang terampil (skill labour) atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.
     c. Kurangi dan Berantas Korupsi                              
          Menurut laporan BPK tahun 2003 lalu, Depdiknas merupakan lembaga pemerintah terkorup kedua setelah Departemen Agama. Kemudian Laporan ICW menyebutkan bahwa korupsi dalam dunia pendidikan dilakukan secara bersama-sama (Amin Rais menyebutnya korupsi berjamaah) dalam berbagai jenjang mulai tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Pelakunya mulai dari guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Sekolah yang diharapkan menjadi benteng pertahanan yang menjunjung nilai-nilai kejujuran justru mempertotonkan praktik korupsi kepada peserta didik.
          Korupsi itu berhubungan dengan dana yang berasal dari pemerintah dan dana yang langsung ditarik dari masyarakat. Jika selama ini anggaran pendidikan yang sangat minim dikeluhkan, ternyata dana yang kecil itupun tak luput dari korupsi. Hal ini tidak terlepas dar kekaburan sistem anggaran sekolah. Kekaburan dalam sistem anggaran (RAPBS) itu memungkinkan kepala sekolah mempraktikkan Pembiayaan Sistem Ganda (PSG). Misalnya dana operasional pembelian barang yang telah dianggarkan dari dana pemerintah dibebankan lagi kepada masyarakat.
          Semakin terpuruknya peringkat SDM Indonesia pada tahun 2004, tak perlu hanya kita sesali, melainkan menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit dari keterpurukan. Jika kondisi itu mau diubah mulailah dari menerapkan konsep yang berpijak pada akar masalah.
     d. Berikan Sarana dan Prasarana yang Layak
          Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan prasarana pendidikan).
          Menurut Kepmendikbud Nomor 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/ media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk.
          Selanjutnya, UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya sekolah negeri dan swasta favorit.
Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan kepada masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 dan UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat (1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan ayat (3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
Menyikapi keadaan yang demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarkat sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah. Mudah-mudahan dengan sistem anggaran pendidikan yang mengacu pada UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 pasal 46 dan 49 permasalahan ini dapat diatasi dengan membangun kebersamaan dan kepercayaan antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
3. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan
Menurut Achmad (1993) mutu pendidikan di sekolah dapat diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Engkoswara (1986) melihat mutu/ keberhasilan pendidikan dari tiga sisi; yaitu: prestasi, suasana, dan ekonomi. Dalam hubungan dengan mutu sekolah, Selamet (1998) berpendapat bahwa banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha.
Di sisi lain Heyneman dan Loxley dalam Boediono & Abbas Ghozali (1999) menyimpulkan bahwa kualitas sekolah dan guru nampaknya sangat berpengaruh pada prestasi akademis di seluruh dunia dan semakin miskin suatu negara, semakin kuat pengaruh tersebut.
Mutu pendidikan merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah proses pendidikan yang bisa dirasakan oleh masyarakat mulai dari input (masukan), proses pendidikan yang terjadi, hingga output (produk keluaran) dari sebuah proses pendidikan. Seiring berjalannya waktu upaya peningkatan mutu pendidikan terus ditingkatkan, baik dari sarana dan prasarana, kualitas guru dan managemen pendidikan.
Dalam meningkatkan mutu pendidikan, Guru sebagai pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi para peserta didik di jenjang pendidikan tinggi.
C. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Mutu ialah suatu kondisi dinamik yang berhubungan dengan produk, tenaga kerja, proses dan tugas serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu Insan Pendidikan Patut Mendapatkan Penghargaan Karena itu Berikanlah Penghargaan, Meningkatkan Profesionalisme Guru dan Pendidik, memberikan sarana dan prasarana yang layak dan mengurangi serta memberantas korupsi.
REFRENSI:
Hadis, A. & Nurhayati. 2010. Manajemen Mutu Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sagala, S.. 2007. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Zamroni. 2007. Meningkatkan Mutu Sekolah. Jakarta: PSAP Muhamadiyah.
Bull. http://kafeilmu.com/cara-bagaimana-meningkatkan-mutu-pendidikan/ (diakses tanggal 21 Desember 2013)

Jumat, 03 Januari 2014

Metode Penemuan dan Penemuan Terbimbing

A.  Metode Penemuan
Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis, 1975:138), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga peserta didik dapat mencari jalan pemecahan.
Jerome S. Bruner dalam Ruseffendi (1988:155) mengemukakan dalam belajar matematika, peserta didik harus menemukan sendiri. Menemukan disini terutama adalah menemukan lagi (discovery) bukan menemukan yang sama sekali baru (invention), sebab apa yang ditemukan itu sebenarnya sudah ditemukan seseorang, jadi penemuan ini adalah penemuan pura-pura, atau penemuan bagi peserta didik yang bersangkutan saja, dan penemuan ini hanya sebagian saja, sebagian lagi mungkin sudah diberi tahu oleh guru.
Beberapa pengertian metode discovery dikemukakan oleh para ahli yaitu: Ruseffendi, Herman Hudoyo, Ratuaman, Suryosubroto, Roestiyah dan Slavin. Menurut Ruseffendi (1988:329) metode discovery (metode penemuan) adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Menurut Herman Hudoyo, H. (1988:122) metode penemuan merupakan suatu cara untuk menyampaikan ide gagasan lewat proses menemukan, dimana peserta didik menemukan sendiri pola-pola dan struktur matematika melalui sederetan pengalaman belajar yang lampau, keterangan-keterangan yang harus dipelajari tersebut tidak disajikan dalam bentuk final, peserta didik diwajibkan melakukan aktivitas mental sebelum keterangan yang dipelajari itu dapat dipahami.
Menurut Ratuaman (2002:127) menjelaskan bahwa penemuan (discovery) merupakan suatu pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme, yang menuntut peserta didik untuk menyusun dan merangkai sendiri pengetahuan yang perlu dipahaminya.
Menurut Suryosubroto (2002:192) metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi objek, dan lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi, sebelum peserta didik sadar akan pengertian, guru tidak akan menjelaskan dengan kata-kata. Atau dengan kata lain metode penemuan adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan kepada peserta didiknya untuk menemukan sendiri informasi, yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Menurut Roestiyah (2001:20) metode penemuan adalah suatu cara mengajar yang melibatkan peserta didik dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan diskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri agar peserta didik dapat belajar sendiri, guru hanya membimbing dan membantu jika diperlukan.
Menurut Slavin (1994) Pembelajaran dengan penemuan, peserta didik didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan peserta didik juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berpikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
Metode penemuan yang ekstrim sulit dilaksanakan, karena peserta didik belum sebagai ilmuwan, peserta didik masih membutuhkan pertolongan pengajar setapak demi setapak sebelum dia menjadi penemu yang murni, peserta didik masih membutuhkan waktu dan bantuan untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami ide/gagasan baru. Beberapa petunjuk perlu diberikan kepada peserta didik apabila mereka belum menunjukkan kemampuan memahami ide/gagasan baru. Jadi metode penemuan yang mungkin dapat dilaksanakan adalah metode penemuan terbimbing.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing (Inquiry Learning) adalah suatu metode dalam pembelajaran dimana peserta didik menemukan sendiri sesuatu yang baru dengan mendapatkan bimbingan dari guru, yang berarti guru memberikan persoalan kemudian membimbing peserta didik untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu.
B.  Metode Penemuan Terbimbing
Metode Penemuan terbimbing menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti suatu masalah ke kelas. Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari, meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.
Metode penemuan terbimbing (Inquiry Learning) adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar yang aktif (Mulyasa, 2003:234). Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan (Trianto, 2007:135). David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry dalam Sutrisno (2008) mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: Inquiry merupakan tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, Inquiry berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu.
DR. J. Richard Suchman dalam Widdiharto (2004) mencoba mengalihkan kegiatan belajar-mengajar dari situasi yang didominasi  guru ke situasi yang melibatkan peserta didik dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar, dan sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson (pelajaran dengan penemuan terbimbing)
Dengan metode penemuan terbimbing ini peserta didik dihadapkan kepada situasi dimana peserta didik bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu peserta didik agar mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran peserta didik cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada peserta didik. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan peserta didik dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Metode Penemuan terbimbing (inquiry) merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran, peserta didik lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Peserta didik benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode penemuan terbimbing (inquiry) sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton dalam Sutrisno, 2008).
1.  Question (Pertanyaan)
Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu peserta didik dan atau kekaguman peserta didik akan suatu fenomena. Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh peserta didik. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh peserta didik. Untuk menjawab pertanyaan ini - sesuai dengan Taxonomy Bloom - peserta didik dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
2.  Student Engangement (Keterlibatan peserta didik)
Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif peserta didik merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Peserta didik bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.
3.  Cooperative Interaction (bekerja kelompok)
Peserta didik diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, peserta didik bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
4.  Performance Evaluation (tampilan evaluasi)
Dalam menjawab permasalahan, biasanya peserta didik diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
5. Variety of Resources (keragaman sumber belajar)
Peserta didik dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, metode penemuan terbimbing (inquiry) merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran ini peserta didik lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah (Sutrisno, 2008).
Peserta didik benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Metode inquiry salah satu strategi pembelajaran yang memungkinkan para peserta didik mendapatkan jawabannya sendiri. Metode pembelajaran ini dalam penyampaian bahan pelajarannya tak dalam bentuk final dan tak langsung. Artinya, dalam metode inquiry peserta didik sendiri diberi peluang untuk mencari, meneliti dan memecahkan jawaban, menggunakan teknik pemecahan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ratumanan, T.G. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: University Press.
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar  Kepada  Membantu  Guru  Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Tarsito.
Sagala, Syaiful. 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sutrisno, Joko. 2008. Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam belajar Sains terhadap Motivasi Belajar Siswa. http://www.erlangga.co.id. (diakses tanggal 21 Februari 2009).
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Surabaya: Penerbit Pustaka Publisher.
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMP jenjang Dasar. Yogyakarta: Diknas.

Kepala Sekolah Profesional

K
elemahan terbesar dari lembaga pendidikan di Indonesia adalah karena tidak mempunyai basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomi untuk menghasilkan sumber daya manusia pekerja (abdi dalam) yang sudah dirancang menurut tata nilai ekonomi yang berlaku (kapitalistik) (Mubiato, 2002:98). Dengan demikian tidak mengherankan bila keluaran (output) pendidikan hanya ingin menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkai manfaat yang beraneka ragam. Untuk mendorong terjadinya upaya pembudayaan di lembaga pendidikan ini adalah meletakkan basis budaya yang mengakar pada sumber nilai setempat yang utuh mencakup semua aspek kemanusiaan, sehingga membuka peluang pengembangannya sesuai dengan kreatifitas dan inisiatif yang dikelola dalam lembaga pendidikan itu.
Menjadi kepala sekolah profesional idealnya harus memahami secara komprehensif bagaimana kinerja dan kemampuan manajerialnya dalam memimpin sebuah sekolah sehingga sekolah itu bernuansa sekolah yang berbudaya. Dengan demikian diharapkan alumni sekolah itu memiliki budaya yang jelas sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, Made Pidarta (1994:145) mengatakan bahwa di lembaga pendidikan itu siswa harus memahami (1) sosiologi dan pendidikan, (2) kebudayaan dan pendidikan, (3) masyarakat dan sekolah, (4) masyarakat Indonesia dan pendidikan, dan (5) dampak konsep pendidikan.
Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan demikian bidang pendidikan adalah bidang yang menjadi tulang punggung pelaksanaan pembangunan nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia adalah membentuk manusia seutuhnya yang Pancasilais (UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003), dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa ditangani dengan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sesuai dengan kondisi Indonesia dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep sistem.
Oleh karena itu kepala sekolah harus: (a) memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumber daya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
Sumber daya meliputi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya. Sumber daya manusia terdiri dari sumber daya manusia jenis manajer/pimpinan dan sumber daya manusia jenis pelaksana. Sedang sumber daya selebihnya meliputi uang, peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang perlu digarisbawahi, agar sekolah berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan sumber daya, terlebih-lebih sumber daya manusia. Kesiapan sumber daya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut kualifikasi, sedang kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumber daya manusia. Jika pemimpin, anak buah, staf, kepala, ketua, bawahan, pembantu pimpinan dan apapun peran dan jabatan yang disandang seseorang, mampu melaksankan tugas, peran serta fungsinya sesuai dengan tanggung jawabnya. Diyakini kasus-kasus yang berhubungan dengan lemahnya manajemen organisasi/kelembagaan akan dapat direduksi.
Seseorang akan dihargai profesionalitasnya, kepribadiannya dan bahkan kinerjanya apabila ia mampu menghasilkan produktifitas kerja yang senantiasa berada dalam track record yang baik, mampu melaksanakan kewajibannya secara ajeg sesuai dengan track yang harus ia lewati. Bukankah apabila kita ingin ketahuan siapa diri kita sesungguhnya maka kita harus berbuat sebanyak-banyaknya berbuat.
Ada beberapa kiat untuk menata sistem manajemen kelembagaan yang efektif, yaitu:
1. Bangunlah manajemen kelembagaan berdasarkan komunikasi yang baik.
     Komunikasi yang interaktif, dialogis, tidak underpressure, tapi komunikasi yang dibangun atas dasar komitmen dan pengertian yang bisa diterima oleh semua pihak. Komunikasi jenis ini bisa dijalin melalui pengembangan sistem budaya kerja yang tidak mengutamakan kekuasaan tapi cenderung lebih mengutamakan kekeluargaan, silaturahmi dan rasa memiliki yang tinggi dari semua pihak terkait (stakeholders dan shareholders)
2. Membangun kondisi organisasi yang bisa menciptakan kepuasan (satisfaction) dari semua pihak.
     Jadilah pemimpin yang bijak, berlaku adil, familiar, terbuka, mau dikritik, jujur, demokrasi dan bertanggung jawab, sebaliknya jadilah bawahan yang sebaik-baiknya bawahan.
3. Memulai perubahan dari diri kita masing-masing.
     Jangan mengharapkan orang lain mengubah sesuat yang telah ada. Inisiatif harus dari diri kita sendiri. Bukankah jika ingin mengubah dunia maka harus dimulai dari mengubah diri sendiri, dan yang terpenting adalah ubahlah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
4. Banyak berkarya dan berbuat.
     Produktivitas dan kinerja kita akan diukur dari kuantitas dan kualitas dari apa yang telah kita lakukan.
5. Belajar dan belajar terus memahami dan mengerti orang lain.
     Jangan egois, jangan menganggap bahwa diri kita penting dimata orang lain, belum tentu orang lain butuh kita.
6. Menjaga hati dan mulut kita.
     Menjaga hati dari pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain, dan menjaga mulut agar senantiasa mencerminkan betapa bersihnya diri kita. Jagalah mulutmu, karena mulutmu adalah pedangmu dan bahkan harimaumu.
7.  Memahami diri sendiri.
     Memahami dan mengerti siapa diri kita sendiri melalui analisis diri, analisis posisi, bukankan musuh yang paling besar di dunia ini adalah diri kita sendiri.
8. Mau dikritik oleh orang lain.
     Demi kemajuan kita harus senantiasa mau dikritik oleh orang lain, terbuka terhadap saran dan pendapat orang lain dan bahkan dengan kritikan itu dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kita.
Defenisi Konseptual Menjadi Kepala Sekolah Profesional
Berdasarkan semantiknya, Anton Muliono (1989:702) mengemukakan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasai pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu, Profesional, adalah memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, Profesionalisme, adalah sifat profesional, dan profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan menjadi profesional. Sedangkan, proteksi, adalah perlindungan hukum secara juridis formal. Selanjutnya, A.S Hornby (1952:989) said that professionalism is The mark or qualities of a profession. Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme mencakup, antara lain; budaya profesi, kualifikasi, kompetensi, keterampilan, komitmen, konsistensi, etos kerja, kode etik dan dedikasi.
Profesi guru, adalah karya profesi. Engkoswara (2004:29) mengatakan bahwa karya profesi memerlukan kemampuan dasar, yakni; membaca dan belajar sepanjang hayat, etos dan etika kerja, dan keterampilan nalar dan keterampilan tangan. Guru sebagai tenaga kependidikan wajib dan mutlak memiliki karya profesi tersebut, sehingga dengan memiliki keterampilan dasar itu, maka seorang guru akan menjadi professional. Seorang guru akan professional, jika memiliki sifat pribadi manusia Indonesia. Lebih lanjut, Engkoswara (2004:31) mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki, yakni; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan profesional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
Profesional dapat berkembang menjadi jabatan profesional, sejalan dengan itu, Komarudin (2000:205) mengatakan bahwa profesional berasal dari bahasa Latin, yaitu “ Profesia “ yang berarti; pekerjaan, keahlian, jabatan, jabatan guru besar. Demikian halnya kepala sekolah, adalah merupakan jabatan fungsional yang diberi sebagai tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Dengan demikian muncullah terminologi bagaimana menjadi kepala sekolah profesional.
Terminologi profesional melahirkan terminologi baru, yakni profesionalisme. Freidson (2970:28), mengemukakan bahwa profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karier. Secara operatif, Syaiful (2002:199) menegaskan bahwa profesionalisme memiliki aturan dan komitmen jabatan keilmuan teknik dan jabatan yang akan diberikan kepada pelayan masyarakat agar secara khusus pandangan-pandangan jabatan dikoreksi secara keilmuan dan etika sebagai pengukuhan terhadap profesionalisme. Profesionalisme tidak dapat dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat atau semacamnya, tetapi benar-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang disebut kepala sekolah profesional harus dapat membedakan mana ilmu yang esensial berkaitan dengan disiplin ilmunya dan tidak esensial sesuai dengan tuntutan profesional. Sehubungan dengan terminologi itu, Paure (1972:25) menegaskan bahwa profesional harus mereduksi lama pendidikan untuk memberikan kualifikasi bagus tanpa mengurangi standar dan metodologi pengajaran yang tepat, percepatan proses belajar, menyeleksi ilmu yang diberikan.
Korelasi Profesional Dengan Sosial Budaya
      Sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai pada diri peserta didik di sekolah. Karena salah satu fungsi sekolah adalah untuk memperbaiki mental anak-anak, seperti harapan yang disampaikan oleh Coleman. Sekolah berfungsi sebagai alat:
a. Kontrol sosial dan perubahan sosial.
Menjadi kepala sekolah profesional harus memperhatikan banyak hal dalam diri peserta didik selama dalam lingkungan sekolah. Made (1994:156) mengemukakan bahwa sosiologi atau sosiologi pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut; (1) Sosiologi menunjukkan pentingnya kegiatan sosialisasi anak-anak dalam pendidikan, (2) Memberikan bantuan dalam upaya menganalisis proses sosialisasi anak-anak. Seperti konsep tentang interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, bentuk sosial, dan sebagainya, (3) Kelompok sosial dan lembaga masyarakat dengan berbagai bentuknya, termasuk sekolah, (4) Dinamika kelompok, yang sudah tentu berlaku juga dalam dunia pendidikan, (5) Konsep-konsep untuk mengembangkan kelompok sosial dan lembaga-lembaga masyarakat, (6) Nilai-nilai yang ada di masyarakat serta keharusan sekolah untuk mengembangkan aspek itu pada diri peserta didik, (7) Peranan pendidikan dalam masyarakat, dan (8) Dukungan masyarakat terhadap pendidikan.
Memahami akan hal itu, para pendidik dan kepala sekolah profesional hendaklah menantang diri agar proses pendidikan di sekolah tidak ketinggalan zaman, agar dapat membantu peserta didik berpacu antarteman sekelas atau dengan yang lainnya. Dengan demikian guru dan kepala sekolah harus meningkatkan profesinya agar memiliki kualitas yang sejajar dengan para pendidik di negara-negara maju, misalnya di Amerika, Jepang dan negara maju lainnya.
b. Korelasi profesi dengan budaya
Engkoswara (2004:31) mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah). Sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan profesional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
Untuk merealisasikan sifat dan budaya tersebut di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar sekolah. Engkoswara (2004:63) mengemukakan bahwa dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praksis (aktual) yang harus ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Tahapan perkembangan yang harus ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi adalah terkait dengan sejumlah pelayanan. Kepala sekolah profesional harus dapat mengkomunikasikan segala tugas pokok dan fungsinya dalam manajemen sekolah. Fungsi manajemen sekolah harus dapat diberdayakan seoptimal mungkin sesuai dengan standar kompetensi yang dimiliki sebagai pimpinan (manajer). Pendidikan adalah enkultusasi. Manan (1989:79) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses membuat orang kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang memasuki dirinya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, disetiap tempat hidup seseorang dan setiap waktu. Dalam hal ini akan muncul pengenalan kurikulum yang sangat luas, yaitu semua lingkungan tempat hidup manusia. Suatu budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi anak dalam mengembangkan dirinya. Ada kalanya bagian budaya akan dipakai terus, ada kalanya diperbaiki dan ada kalanya dibuang atau diganti dengan yang baru. Hal ini tergantung bagaimana pembinaan pendidik, pengaruh lingkungan, dan hasil penilaian anak itu sendiri.
Kepala sekolah profesional harus cerdas dan intelek serta bijaksana. Sebagai kepala sekolah dengan fungsinya sebagai manajer di sekolah harus memperhatikan ciri-ciri profesionalisasi. Robert W. Rihe (1974:87) mengemukakan bahwa ciri-ciri profesionalisasi jabatan fungsional ada tujuh macam, yaitu; (1) Kepala sekolah bekerja sama dan tidak semata-mata hanya memberikan pelayanan kemanusiaan bukan usaha untuk kepentingan pribadi, (2) Memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi, (3) Memiliki lisensi hukum dalam memimpin sekolah, (4) Memiliki publikasi yang dapat melayani para guru sehingga tidak ketinggalan zaman, (5) Mengikuti aneka kegiatan seminar pendidikan (workshop), (6) Jabatannya sebagai suatu karier hidup, dan (7) Memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun lokal.
Kinerja dan produktivitas kepala sekolah profesional harus dapat diukur dengan parameter yang ada, yakni standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal mengacu kepada konteks sosial budaya pendidikan yang ada di sekolah, misalnya, sekolah berbasis budaya lingkungan. Sekolah bernuansa basis lingkungan budaya dapat tampak dalam pengelolaan lingkungan sekolah, misalnya dengan penanaman aneka tanaman rindang atau pembuatan apotek dan warung hidup di lingkungan sekolah. Sekolah akan tampak rindang dan sejuk sehingga warga sekolah dapat menikmati lingkungan dengan nyaman dan teduh sehingga warga sekolah akan merasa betah di sekolah dalam berbagai situasi yang ada.
Kegiatan manajerial sekolah biasanya mencakup dalam ruang lingkup manajemen pendidikan. Komponen manajemen pendidikan meliputi 5-M yakni; Sumber daya manusia (Man), Finansial (Money), Substansi (Material), Metode (Method), dan Fasilitas (Machine). Kepala sekolah sebagai sumber daya manusia yang profesional harus mampu mengelola sekolah sesuai dengan fungsi sekolah sebagai wiyata mandala. Kepala sekolah sebagai manajer harus mampu mengelola keuangan sebagai pembiayaan pendidikan di sekolah baik pembiayaan langsung maupun pembiayaan tidak langsung. Kepala sekolah sebagai guru harus mampu memberikan bimbingan kepada semua warga sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kepala sekolah fungsinya sebagai pimpinan harus mampu metode kepemimpinan atau model kepemimpinannya yang layak dan pantas diterapkan sesuai dengan norma, dan demikian juga kepala sekolah sebagai pimpinan harus mampu memberdayakan semua fasilitas yang ada dalam menunjang kemajuan pendidikan di sekolah.
Korelasi tugas pokok dan fungsi kepala sekolah dalam tatanan manajerial sekolah, idealnya mampu mengimplementasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan budaya sekolah. Kepala sekolah profesional harus mampu mendorong semua warga sekolah untuk melestarikan budaya sekolah sehingga tercermin dalam setiap perilaku atau sikap warga sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Motivasi intrinsik akan mendorong kepala sekolah untuk terus berpacu dalam menggalakkan budaya sekolah. Demikian halnya motivasi ekstrinsik akan mendukung kepemimpinan kepala sekolah demi terciptanya budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada pada komunitas sekolah dan masyarakat (orang tua).
Kesimpulan
a.  Menjadi kepala sekolah profesional harus memelihara budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada dalam warga sekolah dalam konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat. Sosial budaya dan pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1)   Kebudayaan adalah cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat.
2)   Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah penerus keturunan dan pengasuh anak, pengembang kehidupan berekonomi, transmisi budaya, meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pengendalian sosial dan rekreasi.
3)   Isi kebudayaan, antara lain; gagasan, ideologi, norma, teknologi, ilmu, kesenian, kepandaian, dan benda.
4)   Kepala sekolah profesional adalah kepala sekolah yang memegang teguh nilai dan etika serta budaya profesi sesuai dengan konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat.
5)   Sifat dan budaya manusia Indonesia memiliki, yakni ; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat manusia Indonesia adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan professional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
6)   Di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar sekolah (di rumah).
b.  Dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praktis (aktual) yang harus ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Saran
Menjadi Kepala Sekolah profesional idealnya menjunjung tinggi budaya profesi. Dengan budaya profesi, kepala sekolah tersebut sudah memiliki ketujuh ciri-ciri jabatan fungsional yang tertuang dalam profesionalisasi. Profesionalisme wajib ditingkatkan agar kualifikasi yang dimilikinya dapat tercermin dalam manajerial serta gaya kepemimpinan yang dimilikinya. Dengan demikian, kepala sekolah profesional akan lebih tampil percaya diri dalam mengelola sekolah secara profesional sesuai dengan sistem sosial budaya pendidikan yang ada dalam komunitas pendidikan formal.
BIBLIOGRAFI
Coleman. 1997. Strategic Learning, Third Edition. The University Chicago Press, USA.
Prentice Hall Engkoswara. 2004. Iman Ilmu Amaliah Indah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Hornby, A.S. 1958. The Advanced Leaners Dictionary of Curent English. London: Oxford University Press. Amen House.
Ikezawa, Tatsuo.1993. Effective TQC: How to Make Quality Assurance More than a Slogan. Tokyo: PHP Institute, INC.
Made. 1994. Landasan Kependidikan. Bandung: Rineka Cipta.
Muliono, Anton. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nasution. 1989. Metodologi Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Judhistira, Jilid I.
Piyami, Bull. 1987. Becoming An Educator. New York: University of North Carolina.
Tilaar, H.A.R.. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda Karya.
Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
http://www.m-edukasi.web.id/2013/09/kepala-sekolah-profesional.html (diakses 26 des 2013).

Kamis, 02 Januari 2014

Sejarah Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia

P
endidikan dalam peradaban anak manusia merupakan hal yang paling urgen. Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini semenjak itulah manusia berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah sesuatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia. Secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu bersifat maju. Dan apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan kemajuan yang lebih baik. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan. Dan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan diperlukan sebuah kurikulum.
A.  Pengertian Kurikulum
Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai daristart sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang peserta didik dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah.
Istilah kurikulum pada dasarnya tidak hanya berbatas pada sejumlah mata pelajaran saja, tetapi mencakup semua pengalaman belajar (learning experiences) yang dialami peserta didik dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Bahkan Harold B. Alberty (1965) memandang kurikulum sebagai semua kegiatan yang diberikan kepada peserta didik di bawah tanggung jawab sekolah (all of the activities that are providet for the students by the school). Sehingga kurikulum tidak dibatasi pada kegiatan di dalam kelas, tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di luar kelas.
Pendapat senada dan menguatkan pengertian tersebut dikemukakan oleh Saylor, Alexander dan Lewis (1974) yang menganggap kurikulum sebagai segala upaya sekolah untuk mempengaruhi peserta didik supaya belajar, baik dalam ruangan kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah.
Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiata pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
B.  Fungsi Pengembangan Kurikulum
Fungsi kurikulum identik dengan pengertian kurikulum itu sendiri yang berorientasi pada pengertian kurikulum dalam arti luas bagi pengembangan buku ajar, pengadaan media dan sarana, pengembangan staf, pengawasan dan pengujian. Maka fungsi kurikulum mempunyai arti sebagai berikut:
1.  Sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan pada suatu tingkatan lembaga pendidikan tertentu dan untuk memungkinkan pencapain tujuan dari lembaga pendidikan tersebut.
2.  Sebagai batasan dari program pendidikan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan pada satu semester, kelas, maupun pada tingkat pendidikan tersebut.
3.  Sebagai pedoman guru dalam menyelenggarakan proses belajar mMengajar, sehingga kegiatan yang dilakukan guru dan peserta didik terarah kepada tujuan yang ditentukan.
Dengan demikian fungsi kurikulum pada dasarnya adalah program kegiatan yang tercantum dalam kurikulum yang akan mempengaruhi atau menentukan pribadi peserta didik yang diinginkan. Oleh karena itu pengembangan kurikulum perlu memperhatikan beberapa hal:
1.  Tuntutan pembangunan daerah dan nasional.
2.  Tuntutan dunia kerja.
3.  Aturan agama, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4.  Dinamika perkembangan global.
5.  Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Dalam aktivitas belajar mengajar, kedudukan kurikulum sangat krusial, karena dengan kurikulum peserta didik akan memperoleh manfaat. Namun, di samping kurikulum bermanfaat bagi peserta didik, ia juga mempunyai fungsi-fungsi lain sebagai berikut.
1.  Fungsi kurikulum dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
     Di Indonesia, ada empat tujuan pendidikan utama yang secara hierarkis dapat dikemukakan, yaitu tujuan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut mesti dicapai secara bertingkat dan saling mendukung, sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan (pendidikan).
2.  Fungsi kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun
     Kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Anak didik diharapkan mendapat sejumlah pengalaman baru yang di kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak, agar dapat memenuhi bekal hidupnya nanti.
3.  Fungsi kurikulum bagi pendidik
     Adapun fungsi kurikulum bagi guru atau pendidik adalah sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasikan pengalaman belajar para anak didik dan pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.
4.  Fungsi kurikulum bagi kepala/pembina sekolah/madrasah
     Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan para pembina lainnya adalah sebagai berikut.
     a.  Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yaitu memperbaiki situasi belajar.
     b.  Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam menciptakan situasi untuk menunjang situasi belajar anak kearah yang lebih baik.
     c.  Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam memberikan bantuan kepada guru atau pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar.
     d.  Sebagai seorang administrator yang menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk pengembangan kurikulum pada masa mendatang.
     e.  Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar mengajar.
5.  Fungsi kurikulum bagi orang tua
     Bagi orang tua, kurikulum difungsikan sebagai bentuk adanya partisipasi orang tua dalam membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Bantuan tersebut dapat berupa konsultasi langsung dengan sekolah/guru mengenai masalah-masalah yang menyangkut anak-anak mereka. Bantuan berupa pemikiran, materi dari orangtua atau masyarakat anak dapat melalui lembaga komite sekolah.
6.  Fungsi kurikulum bagi sekolah tingkat di atasnya
     Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
     Pertama, pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan. Pemahaman kurikulum yang digunakan oleh sekolah pada tingkatan di atasnya dapat melakukan penyesuaian di dalam kurikulumnya hal-hal berikut.
     a.  Jika sebagian kurikulum sekolah bersangkutan telah diajarkan pada sekolah yang berada dibawahnya, sekolah dapat meninjau kembali perlu tidaknya bagian tersebut diajarkan.
     b.  Jika keterampilan-keterampilan tertentu yang diperlukan dalam mempelajari kurikulum suatu sekolah belum diajarkan pada sekolah yang berada dibawahnya, sekolah dapat mempertimbangkan masuknya program tentang keterampilan-keterampilan ini kedalam kurikulumnya.
     Kedua, penyiapan tenaga baru. Jika suatu sekolah berfungsi menyiapkan tenaga pendidik bagi sekolah yag berada dibawahnya, perlu sekali sekolah tersebut memahami kurikulum sekolah yang berada dibawahnya itu.
7.  Fungsi kurikulum bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah/madrasah
     Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat sebagai pemakai lulusan, dapat melaksanakan sekurang-kurangnya
     a.  Ikut memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan pihak orangtua dan masyarakat.
     b.  Ikut memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
C.  Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
1.  Prinsip Relevansi
     Ada dua macam relavansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki peserta didik, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat ketercapaian tujuan. Relevansi internal ini menunjukkan keutuhan suatu kurikulum. Kurikulum eksternal berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi dan proses belajar peserta didik yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
2.  Prinsip Fleksibelitas
     Kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku tidak fleksibel akan sulit diterapkan
3.  Prinsip Kontinuitas
     Prinsip ini mengandung arti bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan berkesinambungan antara materi pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan
4.  Prinsip Efektivitas
     Prinsip efektifitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan tepat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua efektifitas dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektifitas yang berhubungan dengan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di kelas. Kedua, efektifitas kegiatan peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar.
5.  Prinsip Efisiensi
     Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu dan suara, serta biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh.
D.  Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Perubahan kurikulum tersebut tentu disertai dengan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, karena dalam setiap perubahan tersebut ada suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional kita. Perubahan kurikulum di dunia pendidikan Indonesia beserta tujuan yang ingin dicapai dapat diuraikan sebagai berikut:
1.  Kurikulum 1947
Kurikulum pertama pada masa kemerdekaan namanya Rencana Pelajaran 1947. Ketika itu penyebutannya lebih populer menggunakan leer plan (rencana pelajaran) ketimbang istilah curriculum dalam bahasa Inggris. Rencana Pelajaran 1947 bersifat politis, yang tidak mau lagi melihat dunia pendidikan masih menerapkan kurikulum Belanda, yang orientasi pendidikan dan pengajarannya ditujukan untuk kepentingan kolonialis Belanda. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Situasi perpolitikan dengan gejolak perang revolusi, maka Rencana Pelajaran 1947, baru diterapkan pada tahun 1950. Oleh karena itu Rencana Pelajaran 1947 sering juga disebut kurikulum 1950. Susunan Rencana Pelajaran 1947 sangat sederhana, hanya memuat dua hal pokok yaitu daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, serta garis-garis besar pengajarannya.
Rencana Pelajaran 1947 lebih mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara, dan bermasyarakat, daripada pendidikan pikiran. Materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Rakyat ada 16, khusus di Jawa, Sunda, dan Madura diberikan bahasa daerah. Daftar pelajarannya adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Berhitung, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi, Sejarah, Menggambar, Menulis, Seni Suara, Pekerjaan Tangan, Pekerjaan Keputerian, Gerak Badan, Kebersihan dan Kesehatan, Didikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Agama. Pada awalnya pelajaran agama diberikan mulai kelas IV, namun sejak 1951 agama juga diajarkan sejak kelas 1.
Garis-garis besar pengajaran pada saat itu menekankan pada cara guru mengajar dan cara murid mempelajari. Misalnya, pelajaran bahasa mengajarkan bagaimana cara bercakap-cakap, membaca, dan menulis. Ilmu Alam mengajarkan bagaimana proses kejadian sehari-hari, bagaimana mempergunakan berbagai perkakas sederhana (pompa, timbangan, manfaat bes berani), dan menyelidiki berbagai peristiwa sehari-hari, misalnya mengapa lokomotif diisi air dan kayu, mengapa nelayan melaut pada malam hari, dan bagaimana menyambung kabel listrik. Pada perkembangannya, rencana pelajaran lebih dirinci lagi setiap pelajarannya, yang dikenal dengan istilah Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. Seorang guru mengajar satu mata pelajaran”. Pada masa itu juga dibentuk Kelas Masyarakat yaitu sekolah khusus bagi lulusan SR 6 tahun yang tidak melanjutkan ke SMP. Kelas masyarakat mengajarkan keterampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan perikanan. Tujuannya agar anak tak mampu sekolah ke jenjang SMP, bisa langsung bekerja.
2.  Kurikulum 1952
Setelah Rencana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rencana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3.  Kurikulum 1964
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rencana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmani. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
4.  Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5.  Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Pada tahun ini pengajaran matematika modern resminya dimulai. Model pembelajaran matematika modern ini muncul karena adanya kemajuan teknologi. Di Amerika Serikat perasaan adanya kekurangan orang-orang yang mampu menangani senjata, rudal dan roket sangat sedikit, mendorong munculnya pembaharuan pembelajaran matematika.
W. Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan berpengertian. Teori Gestalt yang muncul sekitar tahun 1930, dimana Gestalt menegaskan bahwa latihan hafal adalah sangat penting dalam pengajaran namun diterapkan setelah tertanam pengertian pada peserta didik. Dua hal tersebut di atas mempengaruhi perkembangan pembelajaran matematika di Indonesia. Berbagai kelemahan seolah nampak jelas, pembelajaran kurang menekankan pada pengertian, kurang adanya kontinuitas, kurang merangsang anak untuk ingin tahu, dan lain sebagainya. Ditambah lagi masyarakat dihadapkan pada kemajuan teknologi. Akhirnya pemerintah merancang program pembelajaran yang dapat menutupi kelemahan-kelemahan tersebut.
Muncullah kurikulum 1975 dimana matematika saat itu mempunyai karakteristik sebagai berikut.
1)   Membuat topik-topik dan pendekatan baru. Topik-topik baru yang muncul adalah himpunan, statistik dan probabilitas, relasi, sistem numerasi kuno, penulisan lambang bilangan non desimal.
2)   Pembelajaran lebih menekankan pembelajaran bermakna dan berpengertian dari pada hafalan dan ketrampilan berhitung.
3)   Program matematika sekolah dasar dan sekolah menengah lebih kontinyu.
4)   Pengenalan penekanan pembelajaran pada struktur.
5)   Programnya dapat melayani kelompok anak-anak yang kemampuannya hetrogen.
6)   Menggunakan bahasa yang lebih tepat.
7)   Pusat pengajaran pada murid tidak pada guru.
8)   Metode pembelajaran menggunakan meode menemukan, memecahkan masalah dan teknik diskusi.
9)   Pengajaran matematika lebih hidup dan menarik.
6.  Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA)
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Peserta didik Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai peserta didik.
Pembelajaran matematika pada era 1980-an merupakan gerakan revolusi matematika. Revolusi ini diawali oleh kekhawatiran negara maju yang akan disusul oleh negara-negara terbelakang saat itu, seperti Jerman Barat, Jepang, Korea, dan Taiwan. Pengajaran matematika ditandai oleh beberapa hal yaitu adanya kemajuan teknologi mutahir seperti kalkulator dan komputer.
Perkembangan matematika di luar negeri tersebut berpengaruh terhadap matematika dalam negeri. Di dalam negeri, tahun 1984 pemerintah me-launching kurikulum baru, yaitu kurikulum tahun 1984. Alasan dalam menerapkan kurikulum baru tersebut antara lain, adanya sarat materi, perbedaan kemajuan pendidikan antardaerah dari segi teknologi, adanya perbedaan kesenjangan antara program kurikulum di satu pihak dan pelaksana sekolah serta kebutuhan lapangan di pihak lain, belum sesuainya materi kurikulum dengan taraf kemampuan anak didik.
Dan, CBSA (cara belajar peserta didik aktif) menjadi karakter yang begitu melekat erat dalam kurikulum tersebut. Dalam kurikulum ini peserta didik di sekolah dasar diberi materi aritmatika sosial, sementara untuk peserta didik sekolah menengah atas diberi materi baru seperti komputer. Hal lain yang menjadi perhatian dalam kurikulum tersebut.
Langkah-langkah agar pelaksanaan kurikulum berhasil adalah melakukan hal-hal sebagai berikut;
a.  Guru supaya meningkatkan profesinalisme
b.  Dalam buku paket harus dimasukkan kegiatan yang menggunakan kalkulator dan komputer
c.  Sinkronisasi dan kesinambungan pembelajaran dari sekolah dasar dan sekolah lanjutan
d   Pengevaluasian hasil pembelajaran
e.  Prinsip CBSA di pelihara terus
7.  Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi peserta didik untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Tahun 90-an kegiatan olimpiade matematika internasional begitu marak. Sampai tahun 1977 saja sudah 19 kali diselenggarakan olimpiade matematika internasional. Saat itu Yugoslavia menjadi tuan rumah pelaksanaan olimpiade, dan yang berhasil mendulang medali adalah Amerika, Rusia, Inggris, Hongaria, dan Belanda.
Indonesia tidak ketinggalan dalam pentas olimpiade tersebut namun jarang mendulang medali. Keprihatinan tersebut diperparah dengan kondisi lulusan yang kurang siap dalam kancah kehidupan. Para lulusan kurang mampu dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan dan lain sebagainya. Dengan dasar inilah pemerintah berusaha mengembangkan kurikulum baru yang mampu membekali peserta didik berkaitan dengan problem-solving kehidupan. Lahirlah kurikulum tahun 1994.
Dalam kurikulm tahun 1994, pembelajaran matematika mempunyai karakter yang khas, struktur materi sudah disesuaikan dengan psikologi perkembangan anak, materi keahlian seperti komputer semakin mendalam, model-model pembelajaran matematika kehidupan disajikan dalam berbagai pokok bahasan. Intinya pembelajaran matematika saat itu mengedepankan tekstual materi namun tidak melupakan hal-hal kontekstual yang  berkaitan dengan materi. Soal cerita menjadi sajian menarik di setiap akhir pokok bahasan, hal ini diberikan dengan pertimbangan agar peserta didik mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari.
8.  Kurikulum 2004 (KBK)
Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000:89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada:
1.  Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
2.  Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Tujuan yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal.
Tahun 2004 pemerintah me-launching kurikulum baru dengan nama kurikulum berbasis kompetesi. Secara khusus model pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut mempunyai tujuan antara lain;
a.  Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi
b.  Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.
c.  Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
d.  Mengembangkan kemapuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
9.  Kurikulum 2006 (KTSP)
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan, muncullah KTSP. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh peserta didik hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi peserta didik serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengembangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 2011. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Mulyasa. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Murniati, Andi. 2010. Pengembangan Kurikulum. Pekanbaru: Al-Mujtahadah Press.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Oemar Hamalik. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
TIM Pengembangan MKDP. 2011. Kurikulum dan Pengembangan. Jakarta: Rajawali Press