Jumat, 03 Januari 2014

Metode Penemuan dan Penemuan Terbimbing

A.  Metode Penemuan
Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis, 1975:138), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga peserta didik dapat mencari jalan pemecahan.
Jerome S. Bruner dalam Ruseffendi (1988:155) mengemukakan dalam belajar matematika, peserta didik harus menemukan sendiri. Menemukan disini terutama adalah menemukan lagi (discovery) bukan menemukan yang sama sekali baru (invention), sebab apa yang ditemukan itu sebenarnya sudah ditemukan seseorang, jadi penemuan ini adalah penemuan pura-pura, atau penemuan bagi peserta didik yang bersangkutan saja, dan penemuan ini hanya sebagian saja, sebagian lagi mungkin sudah diberi tahu oleh guru.
Beberapa pengertian metode discovery dikemukakan oleh para ahli yaitu: Ruseffendi, Herman Hudoyo, Ratuaman, Suryosubroto, Roestiyah dan Slavin. Menurut Ruseffendi (1988:329) metode discovery (metode penemuan) adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Menurut Herman Hudoyo, H. (1988:122) metode penemuan merupakan suatu cara untuk menyampaikan ide gagasan lewat proses menemukan, dimana peserta didik menemukan sendiri pola-pola dan struktur matematika melalui sederetan pengalaman belajar yang lampau, keterangan-keterangan yang harus dipelajari tersebut tidak disajikan dalam bentuk final, peserta didik diwajibkan melakukan aktivitas mental sebelum keterangan yang dipelajari itu dapat dipahami.
Menurut Ratuaman (2002:127) menjelaskan bahwa penemuan (discovery) merupakan suatu pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme, yang menuntut peserta didik untuk menyusun dan merangkai sendiri pengetahuan yang perlu dipahaminya.
Menurut Suryosubroto (2002:192) metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi objek, dan lain percobaan, sebelum sampai kepada generalisasi, sebelum peserta didik sadar akan pengertian, guru tidak akan menjelaskan dengan kata-kata. Atau dengan kata lain metode penemuan adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan kepada peserta didiknya untuk menemukan sendiri informasi, yang secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Menurut Roestiyah (2001:20) metode penemuan adalah suatu cara mengajar yang melibatkan peserta didik dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan diskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri agar peserta didik dapat belajar sendiri, guru hanya membimbing dan membantu jika diperlukan.
Menurut Slavin (1994) Pembelajaran dengan penemuan, peserta didik didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan peserta didik juga belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berpikir, karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
Metode penemuan yang ekstrim sulit dilaksanakan, karena peserta didik belum sebagai ilmuwan, peserta didik masih membutuhkan pertolongan pengajar setapak demi setapak sebelum dia menjadi penemu yang murni, peserta didik masih membutuhkan waktu dan bantuan untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami ide/gagasan baru. Beberapa petunjuk perlu diberikan kepada peserta didik apabila mereka belum menunjukkan kemampuan memahami ide/gagasan baru. Jadi metode penemuan yang mungkin dapat dilaksanakan adalah metode penemuan terbimbing.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan terbimbing (Inquiry Learning) adalah suatu metode dalam pembelajaran dimana peserta didik menemukan sendiri sesuatu yang baru dengan mendapatkan bimbingan dari guru, yang berarti guru memberikan persoalan kemudian membimbing peserta didik untuk menemukan penyelesaian dari persoalan itu.
B.  Metode Penemuan Terbimbing
Metode Penemuan terbimbing menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti suatu masalah ke kelas. Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari, meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.
Metode penemuan terbimbing (Inquiry Learning) adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar yang aktif (Mulyasa, 2003:234). Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan (Trianto, 2007:135). David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry dalam Sutrisno (2008) mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: Inquiry merupakan tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, Inquiry berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu.
DR. J. Richard Suchman dalam Widdiharto (2004) mencoba mengalihkan kegiatan belajar-mengajar dari situasi yang didominasi  guru ke situasi yang melibatkan peserta didik dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar, dan sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson (pelajaran dengan penemuan terbimbing)
Dengan metode penemuan terbimbing ini peserta didik dihadapkan kepada situasi dimana peserta didik bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai penunjuk jalan dan membantu peserta didik agar mempergunakan ide, konsep dan keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru. Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran peserta didik cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada peserta didik. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan peserta didik dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Metode Penemuan terbimbing (inquiry) merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran, peserta didik lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Peserta didik benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode penemuan terbimbing (inquiry) sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton dalam Sutrisno, 2008).
1.  Question (Pertanyaan)
Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu peserta didik dan atau kekaguman peserta didik akan suatu fenomena. Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh peserta didik. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh peserta didik. Untuk menjawab pertanyaan ini - sesuai dengan Taxonomy Bloom - peserta didik dituntut untuk melakukan beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
2.  Student Engangement (Keterlibatan peserta didik)
Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif peserta didik merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Peserta didik bukan secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.
3.  Cooperative Interaction (bekerja kelompok)
Peserta didik diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, peserta didik bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar.
4.  Performance Evaluation (tampilan evaluasi)
Dalam menjawab permasalahan, biasanya peserta didik diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.
5. Variety of Resources (keragaman sumber belajar)
Peserta didik dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, metode penemuan terbimbing (inquiry) merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran ini peserta didik lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah (Sutrisno, 2008).
Peserta didik benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).
Metode inquiry salah satu strategi pembelajaran yang memungkinkan para peserta didik mendapatkan jawabannya sendiri. Metode pembelajaran ini dalam penyampaian bahan pelajarannya tak dalam bentuk final dan tak langsung. Artinya, dalam metode inquiry peserta didik sendiri diberi peluang untuk mencari, meneliti dan memecahkan jawaban, menggunakan teknik pemecahan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ratumanan, T.G. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: University Press.
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar  Kepada  Membantu  Guru  Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika. Bandung: Tarsito.
Sagala, Syaiful. 2004. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sutrisno, Joko. 2008. Pengaruh Metode Pembelajaran Inquiry dalam belajar Sains terhadap Motivasi Belajar Siswa. http://www.erlangga.co.id. (diakses tanggal 21 Februari 2009).
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Surabaya: Penerbit Pustaka Publisher.
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-Model Pembelajaran Matematika SMP. Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembangan Matematika SMP jenjang Dasar. Yogyakarta: Diknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar untuk memperkaya konten Blog ini dengan mengisi form berikut.