A. Metode Penemuan
Menurut
Jerome Bruner (Cooney, Davis, 1975:138), penemuan adalah suatu proses, suatu
jalan/cara dalam mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item
pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui
latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam
pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan,
dimana seorang peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga peserta didik dapat mencari jalan pemecahan.
Jerome
S. Bruner dalam Ruseffendi (1988:155) mengemukakan dalam belajar matematika,
peserta didik harus menemukan sendiri. Menemukan disini terutama adalah
menemukan lagi (discovery) bukan
menemukan yang sama sekali baru (invention),
sebab apa yang ditemukan itu sebenarnya sudah ditemukan seseorang, jadi
penemuan ini adalah penemuan pura-pura, atau penemuan bagi peserta didik yang
bersangkutan saja, dan penemuan ini hanya sebagian saja, sebagian lagi mungkin
sudah diberi tahu oleh guru.
Beberapa
pengertian metode discovery
dikemukakan oleh para ahli yaitu: Ruseffendi, Herman Hudoyo, Ratuaman,
Suryosubroto, Roestiyah dan Slavin. Menurut Ruseffendi (1988:329) metode discovery (metode penemuan) adalah
metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian rupa sehingga anak
memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui
pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Menurut Herman
Hudoyo, H. (1988:122) metode penemuan merupakan suatu cara untuk menyampaikan
ide gagasan lewat proses menemukan, dimana peserta didik menemukan sendiri
pola-pola dan struktur matematika melalui sederetan pengalaman belajar yang
lampau, keterangan-keterangan yang harus dipelajari tersebut tidak disajikan
dalam bentuk final, peserta didik diwajibkan melakukan aktivitas mental sebelum
keterangan yang dipelajari itu dapat dipahami.
Menurut Ratuaman
(2002:127) menjelaskan bahwa penemuan (discovery)
merupakan suatu pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan
konstruktivisme, yang menuntut peserta didik untuk menyusun dan merangkai
sendiri pengetahuan yang perlu dipahaminya.
Menurut Suryosubroto
(2002:192) metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang
mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi objek, dan lain percobaan,
sebelum sampai kepada generalisasi, sebelum peserta didik sadar akan
pengertian, guru tidak akan menjelaskan dengan kata-kata. Atau dengan kata lain
metode penemuan adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru
memperkenankan kepada peserta didiknya untuk menemukan sendiri informasi, yang
secara tradisional biasa diberitahukan atau diceramahkan saja.
Menurut
Roestiyah (2001:20) metode penemuan adalah suatu cara mengajar yang melibatkan
peserta didik dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat dengan
diskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri agar peserta didik dapat belajar
sendiri, guru hanya membimbing dan membantu jika diperlukan.
Menurut Slavin
(1994) Pembelajaran dengan penemuan, peserta didik didorong untuk belajar
sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip. Selain itu, dalam pembelajaran penemuan peserta didik juga
belajar pemecahan masalah secara mandiri dan keterampilan-keterampilan berpikir,
karena mereka harus menganalisis dan memanipulasi informasi.
Metode
penemuan yang ekstrim sulit dilaksanakan, karena peserta didik belum sebagai
ilmuwan, peserta didik masih membutuhkan pertolongan pengajar setapak demi setapak
sebelum dia menjadi penemu yang murni, peserta didik masih membutuhkan waktu
dan bantuan untuk mengembangkan kemampuan untuk memahami ide/gagasan baru.
Beberapa petunjuk perlu diberikan kepada peserta didik apabila mereka belum
menunjukkan kemampuan memahami ide/gagasan baru. Jadi metode penemuan yang
mungkin dapat dilaksanakan adalah metode penemuan terbimbing.
Dari
beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa metode
penemuan terbimbing (Inquiry Learning)
adalah suatu metode dalam pembelajaran dimana peserta didik menemukan sendiri
sesuatu yang baru dengan mendapatkan bimbingan dari guru, yang berarti guru
memberikan persoalan kemudian membimbing peserta didik untuk menemukan
penyelesaian dari persoalan itu.
B. Metode Penemuan Terbimbing
Metode Penemuan
terbimbing menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang
dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas
meneliti suatu masalah ke kelas. Peserta didik dibagi menjadi beberapa
kelompok, dan masing-masing kelompok mendapat tugas tertentu yang harus
dikerjakan, kemudian mereka mempelajari, meneliti, atau membahas tugasnya di
dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam kelompok didiskusikan,
kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil laporan
dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang
pleno kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan
kesimpulan yang terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan,
hal itu perlu diperhatikan.
Metode penemuan
terbimbing (Inquiry Learning) adalah
metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa yang telah
didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subjek
belajar yang aktif (Mulyasa, 2003:234). Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan
(Trianto, 2007:135). David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry dalam Sutrisno (2008) mengutip
definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: Inquiry merupakan tingkah laku yang terlibat
dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang
memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, Inquiry berkaitan
dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan
atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu.
DR. J. Richard
Suchman dalam Widdiharto (2004) mencoba mengalihkan kegiatan belajar-mengajar
dari situasi yang didominasi guru ke situasi yang melibatkan peserta
didik dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi,
seminar, dan sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson (pelajaran dengan penemuan
terbimbing)
Dengan
metode penemuan terbimbing ini peserta didik dihadapkan kepada situasi dimana peserta
didik bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan
mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan dan guru sebagai
penunjuk jalan dan membantu peserta didik agar mempergunakan ide, konsep dan
keterampilan yang sudah mereka pelajari untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran peserta didik cukup
besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada peserta
didik. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang
akan dilakukan peserta didik dan mengorganisir kelas untuk kegiatan seperti
pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya.
Metode Penemuan
terbimbing (inquiry) merupakan metode
pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri peserta
didik, sehingga dalam proses pembelajaran, peserta didik lebih banyak belajar
sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Peserta didik benar-benar
ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan
metode inquiry adalah sebagai
pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu
disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa
masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru selanjutnya
adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka memecahkan
masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi
terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi
(Sagala, 2004).
Walaupun dalam praktiknya aplikasi
metode penemuan terbimbing (inquiry)
sangat beragam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah namun dapat
disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang
umum yaitu Question,
Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan
Variety of Resources (Garton dalam
Sutrisno, 2008).
1. Question (Pertanyaan)
Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan
pembuka yang memancing rasa ingin tahu peserta didik dan atau kekaguman peserta
didik akan suatu fenomena. Peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya, yang
dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh peserta
didik. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang
harus dipecahkan oleh peserta didik. Untuk menjawab pertanyaan ini - sesuai
dengan Taxonomy
Bloom - peserta didik dituntut untuk melakukan beberapa langkah
seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat ditemukan
misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.
2. Student Engangement (Keterlibatan peserta
didik)
Dalam metode inquiry,
keterlibatan aktif peserta didik merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru
adalah sebagai fasilitator. Peserta didik bukan secara pasif menuliskan jawaban
pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku,
melainkan dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan
pemahaman peserta didik terhadap konsep yang dipelajari atau dalam melakukan
sebuah investigasi.
3. Cooperative
Interaction
(bekerja kelompok)
Peserta didik diminta untuk berkomunikasi, bekerja
berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal
ini, peserta didik bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang
diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua
jawaban benar.
4. Performance
Evaluation
(tampilan evaluasi)
Dalam menjawab permasalahan, biasanya peserta didik diminta
untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai
permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide
presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain. Melalui produk-produk ini
guru melakukan evaluasi.
5. Variety of Resources (keragaman sumber belajar)
Peserta didik dapat menggunakan bermacam-macam sumber
belajar, misalnya buku teks, website,
televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, metode
penemuan terbimbing (inquiry) merupakan
metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada
diri peserta didik, sehingga dalam proses pembelajaran ini peserta didik lebih
banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah
(Sutrisno, 2008).
Peserta didik
benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Peranan guru dalam
pembelajaran dengan metode inquiry
adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah
yang perlu disampaikan kepada kelas untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga
bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh peserta didik. Tugas guru
selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi peserta didik dalam rangka
memecahkan masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi
terhadap kegiatan peserta didik dalam pemecahan masalah harus dikurangi
(Sagala, 2004).
Metode inquiry salah
satu strategi pembelajaran yang memungkinkan para peserta didik mendapatkan
jawabannya sendiri. Metode pembelajaran ini dalam penyampaian bahan
pelajarannya tak dalam bentuk final dan tak langsung. Artinya, dalam metode inquiry peserta
didik sendiri diberi peluang untuk mencari, meneliti dan memecahkan jawaban,
menggunakan teknik pemecahan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ratumanan, T.G. 2002. Belajar dan
Pembelajaran. Surabaya: University Press.
Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu
Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika. Bandung:
Tarsito.
Sagala, Syaiful. 2004. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sutrisno,
Joko. 2008. Pengaruh Metode Pembelajaran
Inquiry dalam belajar Sains terhadap Motivasi Belajar Siswa. http://www.erlangga.co.id. (diakses
tanggal 21 Februari 2009).
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto.
2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivis. Surabaya: Penerbit Pustaka Publisher.
Widdiharto, Rachmadi. 2004. Model-Model
Pembelajaran Matematika SMP. Makalah disampaikan pada Diklat
Instruktur/Pengembangan Matematika SMP jenjang Dasar. Yogyakarta: Diknas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar untuk memperkaya konten Blog ini dengan mengisi form berikut.