A. Teori
Berpikir van Hiele
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik
berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele
dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam
belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap
perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap perkembangan
berpikir van Hiele tersebut adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis),
tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Kelima
Tahap berpikir van Hiele diatas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Tahap
0 (Visualisasi)
Tahap 0 ini juga dikenal dengan
tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, dan tahap visual. Pada tahap ini
siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya
sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit
tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek
sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami
dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.
Tahap
1 (Analisis)
Tahap 1 ini juga dikenal dengan
tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep
dan sifat-sifatnya. Pada tahap ini siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu
bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan
membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan
hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara
beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.
Tahap
2 (Deduksi Informal)
Tahap 2 ini juga dikenal dengan
tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan.
Hoffer menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah
dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat
antara beberapa bangun geometri. Selain itu juga siswa dapat membuat definisi
abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi
informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun
demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk
membangun geometri.
Tahap
3 (Deduksi)
Tahap 3 ini juga dikenal dengan
tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya
sekedar menerima bukti. Selain itu juga siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa
berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara
pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian
melalui serangkaian penalaran deduktif.
Tahap
4 (Rigor)
Clements & Battista juga
menyebut tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger
menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap 4 ini siswa bernalar secara formal
dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi
aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak
didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.
Adapun karakteristik Teori van Hiele, yaitu (1) tahap-tahap
tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke
tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap
mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne,1999). Hal senada
juga diungkapkan oleh Burger dan Culpepper (1993) bahwa setiap tahap memiliki
karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.
Clements & Battista menyatakan bahwa teori van Hiele
mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu,
terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut
bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada
suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap
tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley (1987) menyatakan bahwa teori
van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus
melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan
dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran
daripada oleh usia; (3) intrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang
jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni
masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada
pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Artinya
Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya
berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa setiap tahap
dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam
belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan
siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan
oleh proses berpikir yang digunakan.Tahap-tahap berpikir van Hiele ini akan
dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu
tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari
suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode
pembelajaran daripada umur dan kematangan Dengan demikian, guru perlu
menyediakan pengalaman belajar yang cocok dan sesuai dengan tahap berpikir
siswa.
B. Pengalaman Belajar
sesuai Teori van Hiele
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tingkat berpikir siswa
dalam geometri menurut teori van Hiele lebih banyak bergantung pada isi dan
metode pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang
sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Siswa SMA pada umumnya sudah sampai pada
tahap berpikir deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat Geddes & Fortunato
(1993) bahwa siswa SMA diharapkan sudah sampai pada tahap 2.
Berikut ini akan dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat
digunakan untuk tiga tahap pertama, yaitu tahap 0 sampai tahap 2 (Crowley,
1987).
1.
Aktivitas Tahap 0 (Visualisasi)
Pada tahap 0 ini, bangun-bangun
geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik sebagai suatu keseluruhan.
Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1. Memanipulasi, mewarna, melipat dan
mengkonstruk bangun-bangun geometri.
2. Mengidentifikasi bangun atau relasi
geometri dalam suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun,
blok-blok pola atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan
obyek-obyek fisik lain di dalam kelas, rumah, foto, atau tempat lain, dan dalam
bangun-bangun yang lain.
3. Membuat bangun dengan menjiplak
gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun, dan mengkonstruk bangun.
4. Mendeksripsikan bangun-bangun
geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak
baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.”.
5. Mengerjakan masalah yang dapat
dipecahkan dengan menyusun, mengukur, dan menghitung.
2.
Aktivitas Tahap 1 (Analisis)
Pada tahap 1 ini siswa diharapkan
dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini
antara lain sebagai berikut.
1. Mengukur, mewarna, melipat,
memotong, memodelkan, dan menyusun dalam urutan tertentu untuk mengidentifikasi
sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya.
2. Mendeskripsikan kelas suatu bangun
sesuai sifat-sifatnya.
3. Membandingkan bangun-bangun
berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya.
4. Mengidentifikasi dan menggambar
bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara
tertulis.
5. Mengidentifikasi bangun berdasarkan
sudut pandang visualnya.
6. Membuat suatu aturan dan
generalisasi secara empirik (berdasarkan beberpa contoh yang dipelajari).
7. Mengidentifikasi sifat-sifat yang
dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang
berbeda.
8. Menemukan sifat objek yang tidak
dikenal.
9. Menjumpai dan menggunakan kosakata
atau simbol-simbol yang sesuai.
10. Menyelesaikan masalah geometri yang
dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar,
relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan.
3. Aktivitas Tahap 2
(Deduksi Informal)
Pada tahap 2 ini siswa diharapkan
mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan bangun geometri yang
dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
1. Mempelajari hubungan yang telah
dibuat pada tahap 1, membuat inklusi, dan membuat implikasi
2. Mengidentifikasi sifat-sifat minimal
yang menggambar suatu bangun.
3. Membuat dan menggunakan definisi
4. Mengikuti argumen-argumen informal
5. Menyajikan argumen informal.
6. Mengikuti argumen deduktif,
mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang.
7. Memberikan lebih dari satu
pendekatan atau penjelasan.
8. Melibatkan kerjasama dan diskusi
yang mengarah pada pernyataan dan konversnya.
9. Menyelesaikan masalah yang
menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterkaitannya.
Van de Walle (1990) membuat deksripsi aktivitas yang lebih
sederhana dibandingkan deskripsi yang dibuat oleh Crowley (1987). Menurut Van
de Walle aktivitas pembelajaran untuk masing-masing tiga tahap pertama adalah
sebagai berikut.
1. Aktivitas Tahap 0
(Visualisasi).
Aktivitas pada tahap 0 ini haruslah:
1. melibatkan penggunaan model fisik
yang dapat digunakan siswa untuk memanipulasi,
2. melibatkan berbagai contoh
bangun-bangun yang sangat bervariasi dan berbeda sehingga sifat yang tidak
relevan dapat diabaikan,
3. melibatkan kegiatan memilih,
mengidentifikasi dan mendeksripsikan berbagai bangun, dan
4. menyediakan kesempatan untuk
membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
2. Aktivitas Tahap 1
(Analisis)
Aktivitas untuk tahap 1 ini haruslah:
1. menggunakan model-model pada tahap
0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi berbagai
sifat bangun,
2. mulai lebih menfokuskan pada
sifat-sifat daripada sekedar identifikasi,
3. mengklasifikasi bangun berdasar
sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut, dan
4. menggunakan pemecahan masalah yang
melibatkan sifat-sifat bangun.
3.
Aktivitas Tahap 2 (Deduksi Informal)
Aktivitas untuk tahap 2 ini haruslah:
1. melanjutkan pengklasifikasian model
dengan fokus pada pendefinisian sifat. Membuat daftar sifat dan mendiskusikan
sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi suatu bangun atau konsep,
2. memuat penggunaan bahasa yang
bersifat deduktif informal, misalnya: semua, suatu, dan jika-maka serta
mengamati validitas konvers suatu relasi.
3. Menggunakan model atau gambar
sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari generalisasi atau contoh
kontra.
Aktivitas yang digunakan untuk tiap tahap
berpikir dapat mengacu pada aktivitas yang dijelaskan oleh Van de Walle.
Meskipun demikian, aktivitas ini masih dapat dilengkapi dengan aktivitas yang
sesuai dengan penjelasan Crowley (1987). Pemilihan aktivitas ini didasarkan
pada kecocokan antara materi yang akan diajarkan dengan deskripsi
aktivitas tersebut.
Aktivitas
pembelajaran untuk pengenalan konsep-konsep geometri di sekolah dasar atau
menengah dapat dimulai dari tahap 0, tahap 1 sampai tahap 2. Hal ini didasarkan
pada pendapat Van de Walle (1990) bahwa sebagian besar siswa sekolah menengah
umum dapat berada pada tahap 0 atau tahap 2. Jika pembelajaran langsung dimulai
pada tahap 2 dapat dimungkinkan terjadi mismatch.
Mismatch adalah ketidaksesuaian
antara pengalaman belajar dengan tahap berpikir siswa. Siswa yang berada pada
suatu tahap berpikir, diberi pengalaman belajar sesuai tahap berpikir di
atasnya. Mismatch dapat
mengakibatkan belajar hafalan atau belajar temporer, sehingga berakibat konsep
yang diperoleh siswa akan mudah dilupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar untuk memperkaya konten Blog ini dengan mengisi form berikut.