Jumat, 03 Januari 2014

Kepala Sekolah Profesional

K
elemahan terbesar dari lembaga pendidikan di Indonesia adalah karena tidak mempunyai basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomi untuk menghasilkan sumber daya manusia pekerja (abdi dalam) yang sudah dirancang menurut tata nilai ekonomi yang berlaku (kapitalistik) (Mubiato, 2002:98). Dengan demikian tidak mengherankan bila keluaran (output) pendidikan hanya ingin menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkai manfaat yang beraneka ragam. Untuk mendorong terjadinya upaya pembudayaan di lembaga pendidikan ini adalah meletakkan basis budaya yang mengakar pada sumber nilai setempat yang utuh mencakup semua aspek kemanusiaan, sehingga membuka peluang pengembangannya sesuai dengan kreatifitas dan inisiatif yang dikelola dalam lembaga pendidikan itu.
Menjadi kepala sekolah profesional idealnya harus memahami secara komprehensif bagaimana kinerja dan kemampuan manajerialnya dalam memimpin sebuah sekolah sehingga sekolah itu bernuansa sekolah yang berbudaya. Dengan demikian diharapkan alumni sekolah itu memiliki budaya yang jelas sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, Made Pidarta (1994:145) mengatakan bahwa di lembaga pendidikan itu siswa harus memahami (1) sosiologi dan pendidikan, (2) kebudayaan dan pendidikan, (3) masyarakat dan sekolah, (4) masyarakat Indonesia dan pendidikan, dan (5) dampak konsep pendidikan.
Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan demikian bidang pendidikan adalah bidang yang menjadi tulang punggung pelaksanaan pembangunan nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia adalah membentuk manusia seutuhnya yang Pancasilais (UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003), dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa ditangani dengan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sesuai dengan kondisi Indonesia dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep sistem.
Oleh karena itu kepala sekolah harus: (a) memiliki wawasan jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumber daya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan bertindak.
Sumber daya meliputi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya. Sumber daya manusia terdiri dari sumber daya manusia jenis manajer/pimpinan dan sumber daya manusia jenis pelaksana. Sedang sumber daya selebihnya meliputi uang, peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang perlu digarisbawahi, agar sekolah berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan sumber daya, terlebih-lebih sumber daya manusia. Kesiapan sumber daya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut kualifikasi, sedang kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumber daya manusia. Jika pemimpin, anak buah, staf, kepala, ketua, bawahan, pembantu pimpinan dan apapun peran dan jabatan yang disandang seseorang, mampu melaksankan tugas, peran serta fungsinya sesuai dengan tanggung jawabnya. Diyakini kasus-kasus yang berhubungan dengan lemahnya manajemen organisasi/kelembagaan akan dapat direduksi.
Seseorang akan dihargai profesionalitasnya, kepribadiannya dan bahkan kinerjanya apabila ia mampu menghasilkan produktifitas kerja yang senantiasa berada dalam track record yang baik, mampu melaksanakan kewajibannya secara ajeg sesuai dengan track yang harus ia lewati. Bukankah apabila kita ingin ketahuan siapa diri kita sesungguhnya maka kita harus berbuat sebanyak-banyaknya berbuat.
Ada beberapa kiat untuk menata sistem manajemen kelembagaan yang efektif, yaitu:
1. Bangunlah manajemen kelembagaan berdasarkan komunikasi yang baik.
     Komunikasi yang interaktif, dialogis, tidak underpressure, tapi komunikasi yang dibangun atas dasar komitmen dan pengertian yang bisa diterima oleh semua pihak. Komunikasi jenis ini bisa dijalin melalui pengembangan sistem budaya kerja yang tidak mengutamakan kekuasaan tapi cenderung lebih mengutamakan kekeluargaan, silaturahmi dan rasa memiliki yang tinggi dari semua pihak terkait (stakeholders dan shareholders)
2. Membangun kondisi organisasi yang bisa menciptakan kepuasan (satisfaction) dari semua pihak.
     Jadilah pemimpin yang bijak, berlaku adil, familiar, terbuka, mau dikritik, jujur, demokrasi dan bertanggung jawab, sebaliknya jadilah bawahan yang sebaik-baiknya bawahan.
3. Memulai perubahan dari diri kita masing-masing.
     Jangan mengharapkan orang lain mengubah sesuat yang telah ada. Inisiatif harus dari diri kita sendiri. Bukankah jika ingin mengubah dunia maka harus dimulai dari mengubah diri sendiri, dan yang terpenting adalah ubahlah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
4. Banyak berkarya dan berbuat.
     Produktivitas dan kinerja kita akan diukur dari kuantitas dan kualitas dari apa yang telah kita lakukan.
5. Belajar dan belajar terus memahami dan mengerti orang lain.
     Jangan egois, jangan menganggap bahwa diri kita penting dimata orang lain, belum tentu orang lain butuh kita.
6. Menjaga hati dan mulut kita.
     Menjaga hati dari pikiran-pikiran negatif terhadap orang lain, dan menjaga mulut agar senantiasa mencerminkan betapa bersihnya diri kita. Jagalah mulutmu, karena mulutmu adalah pedangmu dan bahkan harimaumu.
7.  Memahami diri sendiri.
     Memahami dan mengerti siapa diri kita sendiri melalui analisis diri, analisis posisi, bukankan musuh yang paling besar di dunia ini adalah diri kita sendiri.
8. Mau dikritik oleh orang lain.
     Demi kemajuan kita harus senantiasa mau dikritik oleh orang lain, terbuka terhadap saran dan pendapat orang lain dan bahkan dengan kritikan itu dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kita.
Defenisi Konseptual Menjadi Kepala Sekolah Profesional
Berdasarkan semantiknya, Anton Muliono (1989:702) mengemukakan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasai pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu, Profesional, adalah memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, Profesionalisme, adalah sifat profesional, dan profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan menjadi profesional. Sedangkan, proteksi, adalah perlindungan hukum secara juridis formal. Selanjutnya, A.S Hornby (1952:989) said that professionalism is The mark or qualities of a profession. Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme mencakup, antara lain; budaya profesi, kualifikasi, kompetensi, keterampilan, komitmen, konsistensi, etos kerja, kode etik dan dedikasi.
Profesi guru, adalah karya profesi. Engkoswara (2004:29) mengatakan bahwa karya profesi memerlukan kemampuan dasar, yakni; membaca dan belajar sepanjang hayat, etos dan etika kerja, dan keterampilan nalar dan keterampilan tangan. Guru sebagai tenaga kependidikan wajib dan mutlak memiliki karya profesi tersebut, sehingga dengan memiliki keterampilan dasar itu, maka seorang guru akan menjadi professional. Seorang guru akan professional, jika memiliki sifat pribadi manusia Indonesia. Lebih lanjut, Engkoswara (2004:31) mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki, yakni; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan profesional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
Profesional dapat berkembang menjadi jabatan profesional, sejalan dengan itu, Komarudin (2000:205) mengatakan bahwa profesional berasal dari bahasa Latin, yaitu “ Profesia “ yang berarti; pekerjaan, keahlian, jabatan, jabatan guru besar. Demikian halnya kepala sekolah, adalah merupakan jabatan fungsional yang diberi sebagai tugas tambahan sebagai kepala sekolah. Dengan demikian muncullah terminologi bagaimana menjadi kepala sekolah profesional.
Terminologi profesional melahirkan terminologi baru, yakni profesionalisme. Freidson (2970:28), mengemukakan bahwa profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karier. Secara operatif, Syaiful (2002:199) menegaskan bahwa profesionalisme memiliki aturan dan komitmen jabatan keilmuan teknik dan jabatan yang akan diberikan kepada pelayan masyarakat agar secara khusus pandangan-pandangan jabatan dikoreksi secara keilmuan dan etika sebagai pengukuhan terhadap profesionalisme. Profesionalisme tidak dapat dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat atau semacamnya, tetapi benar-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang disebut kepala sekolah profesional harus dapat membedakan mana ilmu yang esensial berkaitan dengan disiplin ilmunya dan tidak esensial sesuai dengan tuntutan profesional. Sehubungan dengan terminologi itu, Paure (1972:25) menegaskan bahwa profesional harus mereduksi lama pendidikan untuk memberikan kualifikasi bagus tanpa mengurangi standar dan metodologi pengajaran yang tepat, percepatan proses belajar, menyeleksi ilmu yang diberikan.
Korelasi Profesional Dengan Sosial Budaya
      Sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai pada diri peserta didik di sekolah. Karena salah satu fungsi sekolah adalah untuk memperbaiki mental anak-anak, seperti harapan yang disampaikan oleh Coleman. Sekolah berfungsi sebagai alat:
a. Kontrol sosial dan perubahan sosial.
Menjadi kepala sekolah profesional harus memperhatikan banyak hal dalam diri peserta didik selama dalam lingkungan sekolah. Made (1994:156) mengemukakan bahwa sosiologi atau sosiologi pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut; (1) Sosiologi menunjukkan pentingnya kegiatan sosialisasi anak-anak dalam pendidikan, (2) Memberikan bantuan dalam upaya menganalisis proses sosialisasi anak-anak. Seperti konsep tentang interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, bentuk sosial, dan sebagainya, (3) Kelompok sosial dan lembaga masyarakat dengan berbagai bentuknya, termasuk sekolah, (4) Dinamika kelompok, yang sudah tentu berlaku juga dalam dunia pendidikan, (5) Konsep-konsep untuk mengembangkan kelompok sosial dan lembaga-lembaga masyarakat, (6) Nilai-nilai yang ada di masyarakat serta keharusan sekolah untuk mengembangkan aspek itu pada diri peserta didik, (7) Peranan pendidikan dalam masyarakat, dan (8) Dukungan masyarakat terhadap pendidikan.
Memahami akan hal itu, para pendidik dan kepala sekolah profesional hendaklah menantang diri agar proses pendidikan di sekolah tidak ketinggalan zaman, agar dapat membantu peserta didik berpacu antarteman sekelas atau dengan yang lainnya. Dengan demikian guru dan kepala sekolah harus meningkatkan profesinya agar memiliki kualitas yang sejajar dengan para pendidik di negara-negara maju, misalnya di Amerika, Jepang dan negara maju lainnya.
b. Korelasi profesi dengan budaya
Engkoswara (2004:31) mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah). Sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan profesional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
Untuk merealisasikan sifat dan budaya tersebut di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar sekolah. Engkoswara (2004:63) mengemukakan bahwa dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praksis (aktual) yang harus ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Tahapan perkembangan yang harus ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi adalah terkait dengan sejumlah pelayanan. Kepala sekolah profesional harus dapat mengkomunikasikan segala tugas pokok dan fungsinya dalam manajemen sekolah. Fungsi manajemen sekolah harus dapat diberdayakan seoptimal mungkin sesuai dengan standar kompetensi yang dimiliki sebagai pimpinan (manajer). Pendidikan adalah enkultusasi. Manan (1989:79) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses membuat orang kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang memasuki dirinya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, disetiap tempat hidup seseorang dan setiap waktu. Dalam hal ini akan muncul pengenalan kurikulum yang sangat luas, yaitu semua lingkungan tempat hidup manusia. Suatu budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi anak dalam mengembangkan dirinya. Ada kalanya bagian budaya akan dipakai terus, ada kalanya diperbaiki dan ada kalanya dibuang atau diganti dengan yang baru. Hal ini tergantung bagaimana pembinaan pendidik, pengaruh lingkungan, dan hasil penilaian anak itu sendiri.
Kepala sekolah profesional harus cerdas dan intelek serta bijaksana. Sebagai kepala sekolah dengan fungsinya sebagai manajer di sekolah harus memperhatikan ciri-ciri profesionalisasi. Robert W. Rihe (1974:87) mengemukakan bahwa ciri-ciri profesionalisasi jabatan fungsional ada tujuh macam, yaitu; (1) Kepala sekolah bekerja sama dan tidak semata-mata hanya memberikan pelayanan kemanusiaan bukan usaha untuk kepentingan pribadi, (2) Memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi, (3) Memiliki lisensi hukum dalam memimpin sekolah, (4) Memiliki publikasi yang dapat melayani para guru sehingga tidak ketinggalan zaman, (5) Mengikuti aneka kegiatan seminar pendidikan (workshop), (6) Jabatannya sebagai suatu karier hidup, dan (7) Memiliki nilai dan etika yang berfungsi secara nasional maupun lokal.
Kinerja dan produktivitas kepala sekolah profesional harus dapat diukur dengan parameter yang ada, yakni standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal mengacu kepada konteks sosial budaya pendidikan yang ada di sekolah, misalnya, sekolah berbasis budaya lingkungan. Sekolah bernuansa basis lingkungan budaya dapat tampak dalam pengelolaan lingkungan sekolah, misalnya dengan penanaman aneka tanaman rindang atau pembuatan apotek dan warung hidup di lingkungan sekolah. Sekolah akan tampak rindang dan sejuk sehingga warga sekolah dapat menikmati lingkungan dengan nyaman dan teduh sehingga warga sekolah akan merasa betah di sekolah dalam berbagai situasi yang ada.
Kegiatan manajerial sekolah biasanya mencakup dalam ruang lingkup manajemen pendidikan. Komponen manajemen pendidikan meliputi 5-M yakni; Sumber daya manusia (Man), Finansial (Money), Substansi (Material), Metode (Method), dan Fasilitas (Machine). Kepala sekolah sebagai sumber daya manusia yang profesional harus mampu mengelola sekolah sesuai dengan fungsi sekolah sebagai wiyata mandala. Kepala sekolah sebagai manajer harus mampu mengelola keuangan sebagai pembiayaan pendidikan di sekolah baik pembiayaan langsung maupun pembiayaan tidak langsung. Kepala sekolah sebagai guru harus mampu memberikan bimbingan kepada semua warga sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kepala sekolah fungsinya sebagai pimpinan harus mampu metode kepemimpinan atau model kepemimpinannya yang layak dan pantas diterapkan sesuai dengan norma, dan demikian juga kepala sekolah sebagai pimpinan harus mampu memberdayakan semua fasilitas yang ada dalam menunjang kemajuan pendidikan di sekolah.
Korelasi tugas pokok dan fungsi kepala sekolah dalam tatanan manajerial sekolah, idealnya mampu mengimplementasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan budaya sekolah. Kepala sekolah profesional harus mampu mendorong semua warga sekolah untuk melestarikan budaya sekolah sehingga tercermin dalam setiap perilaku atau sikap warga sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Motivasi intrinsik akan mendorong kepala sekolah untuk terus berpacu dalam menggalakkan budaya sekolah. Demikian halnya motivasi ekstrinsik akan mendukung kepemimpinan kepala sekolah demi terciptanya budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada pada komunitas sekolah dan masyarakat (orang tua).
Kesimpulan
a.  Menjadi kepala sekolah profesional harus memelihara budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada dalam warga sekolah dalam konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat. Sosial budaya dan pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1)   Kebudayaan adalah cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat.
2)   Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia adalah penerus keturunan dan pengasuh anak, pengembang kehidupan berekonomi, transmisi budaya, meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, pengendalian sosial dan rekreasi.
3)   Isi kebudayaan, antara lain; gagasan, ideologi, norma, teknologi, ilmu, kesenian, kepandaian, dan benda.
4)   Kepala sekolah profesional adalah kepala sekolah yang memegang teguh nilai dan etika serta budaya profesi sesuai dengan konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat.
5)   Sifat dan budaya manusia Indonesia memiliki, yakni ; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat manusia Indonesia adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan professional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
6)   Di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar sekolah (di rumah).
b.  Dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praktis (aktual) yang harus ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Saran
Menjadi Kepala Sekolah profesional idealnya menjunjung tinggi budaya profesi. Dengan budaya profesi, kepala sekolah tersebut sudah memiliki ketujuh ciri-ciri jabatan fungsional yang tertuang dalam profesionalisasi. Profesionalisme wajib ditingkatkan agar kualifikasi yang dimilikinya dapat tercermin dalam manajerial serta gaya kepemimpinan yang dimilikinya. Dengan demikian, kepala sekolah profesional akan lebih tampil percaya diri dalam mengelola sekolah secara profesional sesuai dengan sistem sosial budaya pendidikan yang ada dalam komunitas pendidikan formal.
BIBLIOGRAFI
Coleman. 1997. Strategic Learning, Third Edition. The University Chicago Press, USA.
Prentice Hall Engkoswara. 2004. Iman Ilmu Amaliah Indah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Hornby, A.S. 1958. The Advanced Leaners Dictionary of Curent English. London: Oxford University Press. Amen House.
Ikezawa, Tatsuo.1993. Effective TQC: How to Make Quality Assurance More than a Slogan. Tokyo: PHP Institute, INC.
Made. 1994. Landasan Kependidikan. Bandung: Rineka Cipta.
Muliono, Anton. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nasution. 1989. Metodologi Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Judhistira, Jilid I.
Piyami, Bull. 1987. Becoming An Educator. New York: University of North Carolina.
Tilaar, H.A.R.. 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda Karya.
Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
http://www.m-edukasi.web.id/2013/09/kepala-sekolah-profesional.html (diakses 26 des 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan beri komentar untuk memperkaya konten Blog ini dengan mengisi form berikut.