K
|
elemahan terbesar dari lembaga
pendidikan di Indonesia adalah karena tidak mempunyai basis pengembangan budaya
yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model
ekonomi untuk menghasilkan sumber daya manusia pekerja (abdi dalam) yang sudah
dirancang menurut tata nilai ekonomi yang berlaku (kapitalistik) (Mubiato,
2002:98). Dengan demikian tidak mengherankan bila keluaran (output) pendidikan hanya ingin menjadi
manusia pencari kerja dan tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta
keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkai manfaat yang beraneka ragam.
Untuk mendorong terjadinya upaya pembudayaan di lembaga pendidikan ini adalah
meletakkan basis budaya yang mengakar pada sumber nilai setempat yang utuh
mencakup semua aspek kemanusiaan, sehingga membuka peluang pengembangannya
sesuai dengan kreatifitas dan inisiatif yang dikelola dalam lembaga pendidikan
itu.
Menjadi kepala sekolah profesional idealnya harus memahami
secara komprehensif bagaimana kinerja dan kemampuan manajerialnya dalam
memimpin sebuah sekolah sehingga sekolah itu bernuansa sekolah yang berbudaya.
Dengan demikian diharapkan alumni sekolah itu memiliki budaya yang jelas sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, Made Pidarta (1994:145) mengatakan
bahwa di lembaga pendidikan itu siswa harus memahami (1) sosiologi dan
pendidikan, (2) kebudayaan dan pendidikan, (3) masyarakat dan sekolah, (4)
masyarakat Indonesia dan pendidikan, dan (5) dampak konsep pendidikan.
Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan
demikian bidang pendidikan adalah bidang yang menjadi tulang punggung
pelaksanaan pembangunan nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia
adalah membentuk manusia seutuhnya yang Pancasilais (UU Sisdiknas Nomor 20
tahun 2003), dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa
ditangani dengan ilmu pendidikan bercorak Indonesia sesuai dengan kondisi
Indonesia dan dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep sistem.
Oleh karena itu kepala sekolah harus: (a) memiliki wawasan
jauh kedepan (visi) dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta
paham benar tentang cara yang akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan
mengkoordinasikan dan menyerasikan seluruh sumber daya terbatas yang ada untuk
mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan sekolah (yang umumnya tak
terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil keputusan dengan terampil (cepat,
tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya yang
ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah pengikutnya untuk melakukan
hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki toleransi terhadap
perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip dengannya,
akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan
kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi
musuh-musuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat
keputusan, mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua
dalam bersikap dan bertindak.
Sumber daya meliputi sumber daya manusia dan sumber daya
selebihnya. Sumber daya manusia terdiri dari sumber daya manusia jenis
manajer/pimpinan dan sumber daya manusia jenis pelaksana. Sedang sumber daya
selebihnya meliputi uang, peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang
perlu digarisbawahi, agar sekolah berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan
sumber daya, terlebih-lebih sumber daya manusia. Kesiapan sumber daya manusia =
kesiapan kemampuan + kesiapan kesanggupan. Kesiapan kemampuan menyangkut
kualifikasi, sedang kesiapan kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan
sumber daya manusia. Jika pemimpin, anak buah, staf, kepala, ketua, bawahan,
pembantu pimpinan dan apapun peran dan jabatan yang disandang seseorang, mampu
melaksankan tugas, peran serta fungsinya sesuai dengan tanggung jawabnya.
Diyakini kasus-kasus yang berhubungan dengan lemahnya manajemen
organisasi/kelembagaan akan dapat direduksi.
Seseorang akan dihargai profesionalitasnya, kepribadiannya
dan bahkan kinerjanya apabila ia mampu menghasilkan produktifitas kerja yang
senantiasa berada dalam track record
yang baik, mampu melaksanakan kewajibannya secara ajeg sesuai dengan track yang harus ia lewati. Bukankah
apabila kita ingin ketahuan siapa diri kita sesungguhnya maka kita harus
berbuat sebanyak-banyaknya berbuat.
Ada beberapa kiat untuk menata sistem manajemen kelembagaan
yang efektif, yaitu:
1. Bangunlah manajemen kelembagaan berdasarkan
komunikasi yang baik.
Komunikasi yang interaktif, dialogis, tidak
underpressure, tapi komunikasi yang
dibangun atas dasar komitmen dan pengertian yang bisa diterima oleh semua
pihak. Komunikasi jenis ini bisa dijalin melalui pengembangan sistem budaya
kerja yang tidak mengutamakan kekuasaan tapi cenderung lebih mengutamakan
kekeluargaan, silaturahmi dan rasa memiliki yang tinggi dari semua pihak
terkait (stakeholders dan shareholders)
2. Membangun kondisi organisasi yang bisa
menciptakan kepuasan (satisfaction)
dari semua pihak.
Jadilah pemimpin yang bijak, berlaku adil,
familiar, terbuka, mau dikritik, jujur, demokrasi dan bertanggung jawab,
sebaliknya jadilah bawahan yang sebaik-baiknya bawahan.
3. Memulai perubahan dari diri kita masing-masing.
Jangan mengharapkan orang lain mengubah
sesuat yang telah ada. Inisiatif harus dari diri kita sendiri. Bukankah jika
ingin mengubah dunia maka harus dimulai dari mengubah diri sendiri, dan yang
terpenting adalah ubahlah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari
esok harus lebih baik dari hari ini.
4. Banyak berkarya dan berbuat.
Produktivitas dan kinerja kita akan diukur
dari kuantitas dan kualitas dari apa yang telah kita lakukan.
5. Belajar dan belajar terus memahami dan mengerti
orang lain.
Jangan egois, jangan menganggap bahwa diri
kita penting dimata orang lain, belum tentu orang lain butuh kita.
6. Menjaga hati dan mulut kita.
Menjaga hati dari pikiran-pikiran negatif
terhadap orang lain, dan menjaga mulut agar senantiasa mencerminkan betapa
bersihnya diri kita. Jagalah mulutmu, karena mulutmu adalah pedangmu dan bahkan
harimaumu.
7. Memahami diri sendiri.
Memahami dan mengerti siapa diri kita
sendiri melalui analisis diri, analisis posisi, bukankan musuh yang paling besar
di dunia ini adalah diri kita sendiri.
8. Mau dikritik oleh orang lain.
Demi
kemajuan kita harus senantiasa mau dikritik oleh orang lain, terbuka terhadap
saran dan pendapat orang lain dan bahkan dengan kritikan itu dapat menjadi
sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kita.
Defenisi
Konseptual Menjadi Kepala Sekolah Profesional
Berdasarkan semantiknya, Anton Muliono (1989:702)
mengemukakan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasai pendidikan
keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu, Profesional, adalah memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya, Profesionalisme, adalah sifat
profesional, dan profesionalisasi adalah proses membuat suatu badan menjadi
profesional. Sedangkan, proteksi, adalah perlindungan hukum secara juridis
formal. Selanjutnya, A.S Hornby (1952:989) said
that professionalism is The mark or qualities of a profession. Dari kutipan
di atas, dapat disimpulkan bahwa profesionalisme mencakup, antara lain; budaya
profesi, kualifikasi, kompetensi, keterampilan, komitmen, konsistensi, etos
kerja, kode etik dan dedikasi.
Profesi guru, adalah karya profesi. Engkoswara (2004:29)
mengatakan bahwa karya profesi memerlukan kemampuan dasar, yakni; membaca dan
belajar sepanjang hayat, etos dan etika kerja, dan keterampilan nalar dan
keterampilan tangan. Guru sebagai tenaga kependidikan wajib dan mutlak memiliki
karya profesi tersebut, sehingga dengan memiliki keterampilan dasar itu, maka
seorang guru akan menjadi professional. Seorang guru akan professional, jika
memiliki sifat pribadi manusia Indonesia. Lebih lanjut, Engkoswara (2004:31)
mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki, yakni; (1)
Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan
ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah,
(1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme,
tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan
profesional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
Profesional dapat berkembang menjadi jabatan profesional,
sejalan dengan itu, Komarudin (2000:205) mengatakan bahwa profesional berasal
dari bahasa Latin, yaitu “ Profesia “ yang berarti; pekerjaan, keahlian,
jabatan, jabatan guru besar. Demikian halnya kepala sekolah, adalah merupakan
jabatan fungsional yang diberi sebagai tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
Dengan demikian muncullah terminologi bagaimana menjadi kepala sekolah
profesional.
Terminologi profesional melahirkan terminologi baru, yakni
profesionalisme. Freidson (2970:28), mengemukakan bahwa profesionalisme adalah
sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karier. Secara operatif, Syaiful
(2002:199) menegaskan bahwa profesionalisme memiliki aturan dan komitmen
jabatan keilmuan teknik dan jabatan yang akan diberikan kepada pelayan
masyarakat agar secara khusus pandangan-pandangan jabatan dikoreksi secara
keilmuan dan etika sebagai pengukuhan terhadap profesionalisme. Profesionalisme
tidak dapat dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat atau semacamnya,
tetapi benar-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa
yang disebut kepala sekolah profesional harus dapat membedakan mana ilmu yang
esensial berkaitan dengan disiplin ilmunya dan tidak esensial sesuai dengan
tuntutan profesional. Sehubungan dengan terminologi itu, Paure (1972:25)
menegaskan bahwa profesional harus mereduksi lama pendidikan untuk memberikan
kualifikasi bagus tanpa mengurangi standar dan metodologi pengajaran yang
tepat, percepatan proses belajar, menyeleksi ilmu yang diberikan.
Korelasi
Profesional Dengan Sosial Budaya
Sekolah harus memperhatikan
pengembangan nilai-nilai pada diri peserta didik di sekolah. Karena salah satu
fungsi sekolah adalah untuk memperbaiki mental anak-anak, seperti harapan yang
disampaikan oleh Coleman. Sekolah berfungsi sebagai alat:
a. Kontrol sosial dan
perubahan sosial.
Menjadi kepala sekolah profesional
harus memperhatikan banyak hal dalam diri peserta didik selama dalam lingkungan
sekolah. Made (1994:156) mengemukakan bahwa sosiologi atau sosiologi pendidikan
dapat dideskripsikan sebagai berikut; (1) Sosiologi menunjukkan pentingnya
kegiatan sosialisasi anak-anak dalam pendidikan, (2) Memberikan bantuan dalam
upaya menganalisis proses sosialisasi anak-anak. Seperti konsep tentang
interaksi sosial, kontak sosial, komunikasi, bentuk sosial, dan sebagainya, (3)
Kelompok sosial dan lembaga masyarakat dengan berbagai bentuknya, termasuk
sekolah, (4) Dinamika kelompok, yang sudah tentu berlaku juga dalam dunia
pendidikan, (5) Konsep-konsep untuk mengembangkan kelompok sosial dan
lembaga-lembaga masyarakat, (6) Nilai-nilai yang ada di masyarakat serta keharusan
sekolah untuk mengembangkan aspek itu pada diri peserta didik, (7) Peranan
pendidikan dalam masyarakat, dan (8) Dukungan masyarakat terhadap pendidikan.
Memahami akan hal itu, para pendidik
dan kepala sekolah profesional hendaklah menantang diri agar proses pendidikan
di sekolah tidak ketinggalan zaman, agar dapat membantu peserta didik berpacu
antarteman sekelas atau dengan yang lainnya. Dengan demikian guru dan kepala
sekolah harus meningkatkan profesinya agar memiliki kualitas yang sejajar
dengan para pendidik di negara-negara maju, misalnya di Amerika, Jepang dan
negara maju lainnya.
b. Korelasi profesi dengan budaya
Engkoswara (2004:31) mengatakan
bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki; (1) Budaya utama (sehat,
baik dan jujur), (2) Budaya profesi (cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya
penyerta (indah). Sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama
(sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh
disiplin), (2) sifat profesi (cerdas, produktif, dan profesional), dan (3)
sifat penyerta (kreatif).
Untuk merealisasikan sifat dan
budaya tersebut di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya
dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian
juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya
manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Engkoswara (2004:63) mengemukakan bahwa dalam
menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praksis (aktual) yang harus ditata
secara harmoni, yakni (1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku
bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri
universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya
profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk sosial yang
mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan
(3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi
yang bersifat unik dan hakiki.
Tahapan perkembangan yang harus
ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi adalah terkait dengan sejumlah
pelayanan. Kepala sekolah profesional harus dapat mengkomunikasikan segala
tugas pokok dan fungsinya dalam manajemen sekolah. Fungsi manajemen sekolah
harus dapat diberdayakan seoptimal mungkin sesuai dengan standar kompetensi
yang dimiliki sebagai pimpinan (manajer). Pendidikan adalah enkultusasi. Manan
(1989:79) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses membuat orang
kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang memasuki
dirinya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, disetiap tempat hidup seseorang
dan setiap waktu. Dalam hal ini akan muncul pengenalan kurikulum yang sangat
luas, yaitu semua lingkungan tempat hidup manusia. Suatu budaya sesungguhnya
merupakan bahan masukan atau pertimbangan bagi anak dalam mengembangkan
dirinya. Ada kalanya bagian budaya akan dipakai terus, ada kalanya diperbaiki
dan ada kalanya dibuang atau diganti dengan yang baru. Hal ini tergantung
bagaimana pembinaan pendidik, pengaruh lingkungan, dan hasil penilaian anak itu
sendiri.
Kepala sekolah profesional harus
cerdas dan intelek serta bijaksana. Sebagai kepala sekolah dengan fungsinya
sebagai manajer di sekolah harus memperhatikan ciri-ciri profesionalisasi.
Robert W. Rihe (1974:87) mengemukakan bahwa ciri-ciri profesionalisasi jabatan
fungsional ada tujuh macam, yaitu; (1) Kepala sekolah bekerja sama dan tidak
semata-mata hanya memberikan pelayanan kemanusiaan bukan usaha untuk
kepentingan pribadi, (2) Memiliki pemahaman serta keterampilan yang tinggi, (3)
Memiliki lisensi hukum dalam memimpin sekolah, (4) Memiliki publikasi yang
dapat melayani para guru sehingga tidak ketinggalan zaman, (5) Mengikuti aneka
kegiatan seminar pendidikan (workshop),
(6) Jabatannya sebagai suatu karier hidup, dan (7) Memiliki nilai dan etika
yang berfungsi secara nasional maupun lokal.
Kinerja dan produktivitas kepala
sekolah profesional harus dapat diukur dengan parameter yang ada, yakni standar
pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal mengacu kepada konteks sosial
budaya pendidikan yang ada di sekolah, misalnya, sekolah berbasis budaya
lingkungan. Sekolah bernuansa basis lingkungan budaya dapat tampak dalam pengelolaan
lingkungan sekolah, misalnya dengan penanaman aneka tanaman rindang atau
pembuatan apotek dan warung hidup di lingkungan sekolah. Sekolah akan tampak
rindang dan sejuk sehingga warga sekolah dapat menikmati lingkungan dengan
nyaman dan teduh sehingga warga sekolah akan merasa betah di sekolah dalam
berbagai situasi yang ada.
Kegiatan manajerial sekolah biasanya
mencakup dalam ruang lingkup manajemen pendidikan. Komponen manajemen
pendidikan meliputi 5-M yakni; Sumber daya manusia (Man), Finansial (Money),
Substansi (Material), Metode (Method), dan Fasilitas (Machine). Kepala sekolah sebagai sumber
daya manusia yang profesional harus mampu mengelola sekolah sesuai dengan
fungsi sekolah sebagai wiyata mandala. Kepala sekolah sebagai manajer harus
mampu mengelola keuangan sebagai pembiayaan pendidikan di sekolah baik
pembiayaan langsung maupun pembiayaan tidak langsung. Kepala sekolah sebagai
guru harus mampu memberikan bimbingan kepada semua warga sekolah sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya. Kepala sekolah fungsinya sebagai pimpinan harus
mampu metode kepemimpinan atau model kepemimpinannya yang layak dan pantas
diterapkan sesuai dengan norma, dan demikian juga kepala sekolah sebagai
pimpinan harus mampu memberdayakan semua fasilitas yang ada dalam menunjang
kemajuan pendidikan di sekolah.
Korelasi tugas pokok dan fungsi
kepala sekolah dalam tatanan manajerial sekolah, idealnya mampu
mengimplementasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan budaya sekolah. Kepala
sekolah profesional harus mampu mendorong semua warga sekolah untuk
melestarikan budaya sekolah sehingga tercermin dalam setiap perilaku atau sikap
warga sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Motivasi intrinsik akan mendorong
kepala sekolah untuk terus berpacu dalam menggalakkan budaya sekolah. Demikian
halnya motivasi ekstrinsik akan mendukung kepemimpinan kepala sekolah demi
terciptanya budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada pada komunitas sekolah
dan masyarakat (orang tua).
Kesimpulan
a. Menjadi kepala sekolah
profesional harus memelihara budaya sekolah dengan sistem sosial yang ada dalam
warga sekolah dalam konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat. Sosial
budaya dan pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1) Kebudayaan adalah cara hidup dan
kehidupan manusia yang diciptakan manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat.
2) Fungsi kebudayaan dalam kehidupan
manusia adalah penerus keturunan dan pengasuh anak, pengembang kehidupan
berekonomi, transmisi budaya, meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, pengendalian sosial dan rekreasi.
3) Isi kebudayaan, antara lain;
gagasan, ideologi, norma, teknologi, ilmu, kesenian, kepandaian, dan benda.
4) Kepala sekolah profesional adalah
kepala sekolah yang memegang teguh nilai dan etika serta budaya profesi sesuai
dengan konteks sosial budaya pendidikan di masyarakat.
5) Sifat dan budaya manusia Indonesia
memiliki, yakni ; (1) Budaya utama (sehat, baik dan jujur), (2) Budaya profesi
(cerdas, terampil, dan ahli), (3) Budaya penyerta (indah), sedangkan sifat
manusia Indonesia adalah, (1) sifat utama (sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti
luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin), (2) sifat profesi (cerdas,
produktif, dan professional), dan (3) sifat penyerta (kreatif).
6) Di kalangan pendidikan, tenaga
kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan
rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin
dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar sekolah (di rumah).
b. Dalam menegakkan budaya
harmoni ada tiga nilai praktis (aktual) yang harus ditata secara harmoni, yakni
(1) Budaya utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita semua orang
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai ciri universal, yang
mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah
nilai yang berlaku bagi manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai
karakteristik yang bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya
penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai makhluk pribadi yang
bersifat unik dan hakiki.
Saran
Menjadi Kepala Sekolah profesional
idealnya menjunjung tinggi budaya profesi. Dengan budaya profesi, kepala
sekolah tersebut sudah memiliki ketujuh ciri-ciri jabatan fungsional yang
tertuang dalam profesionalisasi. Profesionalisme wajib ditingkatkan agar
kualifikasi yang dimilikinya dapat tercermin dalam manajerial serta gaya
kepemimpinan yang dimilikinya. Dengan demikian, kepala sekolah profesional akan
lebih tampil percaya diri dalam mengelola sekolah secara profesional sesuai
dengan sistem sosial budaya pendidikan yang ada dalam komunitas pendidikan
formal.
BIBLIOGRAFI
Coleman. 1997. Strategic
Learning, Third Edition. The University Chicago Press, USA.
Prentice Hall Engkoswara. 2004. Iman Ilmu Amaliah Indah. Bandung: Yayasan Amal Keluarga.
Hornby, A.S. 1958. The
Advanced Leaners Dictionary of Curent English. London: Oxford University
Press. Amen House.
Ikezawa, Tatsuo.1993. Effective
TQC: How to Make Quality Assurance More than a Slogan. Tokyo: PHP
Institute, INC.
Made. 1994. Landasan
Kependidikan. Bandung: Rineka Cipta.
Muliono, Anton. 1989. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Nasution. 1989. Metodologi
Pembelajaran Tuntas. Jakarta: Judhistira, Jilid I.
Piyami, Bull. 1987. Becoming
An Educator. New York: University of North Carolina.
Tilaar, H.A.R.. 1992. Manajemen
Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda Karya.
Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
http://www.m-edukasi.web.id/2013/09/kepala-sekolah-profesional.html
(diakses 26 des 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan beri komentar untuk memperkaya konten Blog ini dengan mengisi form berikut.